Saturday, March 26, 2011

Tata Ruang Situs Cangkuang - Budaya Sunda

Tata Ruang Situs Cangkuang - Budaya Sunda

Makalah berjudul “Tata Ruang Situs Cangkuang, Leles, Garut: Keberlanjutan Budaya Masyarakat Sunda”, membahas tata ruang situs Cangkuang dari berbagai masa, termasuk di dalamnya masyarakat adat Kampung Pulo melalui studi Arkeologi khususnya Etnoarkeologi. Situs Cangkuang merupakan situs yang menyimpan sejumlah tinggalan arkeologi dari berbagai masa dalam satu kesatuan ruang (multi component sites). Mulai dari masa prasejarah berupa alat-alat obsidian, gerabah, dan sarana pemujaan, masa Hindu Budha berupa candi Hindu Saiwa, dan masa Islam berupa makam. Budaya materi itu, didukung pula oleh keberadaan masyarakat adat Kampung Pulo yang hingga kini masih melakukan tradisi hasil akulturasi budaya prasejarah, Hindu Budha, dan Islam yang tercermin pada konsep mengagungkan nenek moyang atau leluhur, tapa misalnya memegang teguh konsep tabu karena alasan adat (pamali), dan memelihara makam-makam suci (keramat). Kelangsungan tradisi itu juga terlihat pada upacara adat, dan pada konsep dasar rancangan arsitektur rumah yang mengacu pada keselarasan antara masusia dengan alam.
Pola Tata Ruang Situs Cangkuang, Leles, Garut: Kajian ...

POLA TATA RUANG SITUS CANGKUANG, LELES, GARUT:
KAJIAN KEBERLANJUTAN BUDAYA
MASYARAKAT SUNDA


The Planology of Situs Cangkuang, Leles, Garut:
A Cultural Continueing of Socialize Sunda





Oleh
ETTY SARINGENDYANTI


Makalah disampaikan pada Jurnal Sastra
Dies Natalis Fakultas Sastra ke 50













FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2008







LEMBAR PENGESAHAN








Judul

: Pola Tata Ruang Situs Cangkuang, Leles, Garut:
Kajian Keberlanjutan Budaya Masyarakat Sunda




Oleh

: Etty Saringendyanti, Dra., M.Hum.
NIP. 131573160




Evaluator,






H. Maman Sutirman, Drs., M.Hum.


Dr. Wahya, M.Hum.
NIP. 131472326





NIP. 131832049






Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Sejarah,






Awaludin Nugraha, Drs., M.Hum.
NIP 132102926




Tata Ruang Situs Cangkuang Leles, Garut:
Keberlanjutan Budaya Masyarakat Sunda
The Planology of Situs Cangkuang, Leles, Garut:
A Cultural Continueing of Socialize Sunda
Oleh: Etty Saringendyanti1

ABSTRAK
Makalah berjudul “Tata Ruang Situs Cangkuang, Leles, Garut: Keberlanjutan
Budaya Masyarakat Sunda”, membahas tata ruang situs Cangkuang dari berbagai
masa, termasuk di dalamnya masyarakat adat Kampung Pulo melalui studi Arkeologi
khususnya Etnoarkeologi.
Situs Cangkuang merupakan situs yang menyimpan sejumlah tinggalan arkeologi
dari berbagai masa dalam satu kesatuan ruang (multi component sites). Mulai dari
masa prasejarah berupa alat-alat obsidian, gerabah, dan sarana pemujaan, masa
Hindu Budha berupa candi Hindu Saiwa, dan masa Islam berupa makam.
Budaya materi itu, didukung pula oleh keberadaan masyarakat adat Kampung Pulo
yang hingga kini masih melakukan tradisi hasil akulturasi budaya prasejarah, Hindu
Budha, dan Islam yang tercermin pada konsep mengagungkan nenek moyang atau
leluhur, tapa misalnya memegang teguh konsep tabu karena alasan adat (pamali),
dan memelihara makam-makam suci (keramat). Kelangsungan tradisi itu juga terlihat
pada upacara adat, dan pada konsep dasar rancangan arsitektur rumah yang mengacu
pada keselarasan antara masusia dengan alam.
Kata Kunci: Situs Cangkuang, Budaya Sunda, Tata Ruang



1 Penulis adalah staf pengajar Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran
2


ABSTRACT
The Planology Situs Cangkuang, Leles, Garut: A Cultural Continueing of Socialize
Sunda, is an archaeological research, especially etnhoarchaeology, concern the Situs
Cangkuang planologic, inclusive the society of Kampung Pulo from some periode.
Situs Cangkuang is a multi component sites. Prehistory indicated by the obsidian
equipment, pottery, and the ceremonial equipment, Hindu Budha periode by the
Hindu Saiwa temple, and Islamic periode by a mausoleum.
Material cultures, and also supported by existence of Kampung Pulo as a traditional
society which still kept the result of traditional culture as an acculturation of
prehistory, Hindu Budha, and the Islam culture, which mirror by concept idolize
ancestors, “tapa” such as holding firmness conception taboo because custom interdict
(pamali), and look after shrine. Continuity of that traditions are also seen at custom
ceremony, and at elementary concept of house architecture device which relate at
compatibility between human and nature.
Keyword: Situs Cangkuang, Sunda’s Culture, Planology


3




PENDAHULUAN
Arkeologi sebagai sebuah disiplin ilmu humaniora memiliki cukup banyak
masalah pelik di tingkat interpretasi. Namun demikian hal tersebut umumnya
menjadi pemicu dalam pengembangan dan kemajuan kajian arkeologi. Salah satu
langkah perkembangan arkeologi misalnya adalah melakukan perlintasan teori dan
metode dengan etnografi, yaitu melakukan analogi antara tradisi yang masih
berlanjut pada masyarakat sekarang dengan benda-benda arkeologi yang sudah lepas
dari masyarakat pendukungnya. Kajian yang kemudian dikenal dengan etnoarkeologi
ini, menurut Mundardjito2 didasari oleh tingkah laku manusia masa lalu yang tidak
dapat diamati lagi secara langsung. Namun demikian, tingkah laku manusia masa
lampau itu dapat diinterpretasikan melalui artefak yang diwariskan. Interpretasi atas
tingkah laku dan penggunaan artefak diambil berdasarkan atas persamaan bentuk
artefak dengan artefak-artefak yang digunakan oleh masyarakat yang masih hidup
sebagai penerus budaya. Asumsi yang diberlakukan adalah jika dua kelompok gejala
mempunyai kesamaan dalam hal tertentu (misalnya bentuk), maka keduanya akan
memiliki kesamaan juga dalam beberapa hal lain (misalnya cara membuat atau
memakai).
Dalam konstalasi demikian, Situs Cangkuang merupakan situs yang tergolong
multi component sites, didukung oleh keberadaan masyarakat adat Kampung Pulo
dengan tatanan kehidupan yang bersahaja dan masih tetap menjalankan norma tata

2 Dalam artikelnya, “Etnoarkeologi: Peranannya dalam Pengembangan Arkeologi di
Indonesia”, 1981, dalam Majalah Arkeologi, Th.IV. No.1, hlm. 1-17.
4



ruang yang berakar pada unsur asli (local genius) Indonesia, khususnya Sunda kuna.
Istilah terdekat dari fenomena ini adalah living monument.
Penelitian Situs Cangkuang diketahui pertamakali dari tulisan Voderman dalam
sebuah buku berjudul Batavia Guinneskoop (tt), yang ditemukan tahun 1893 di
sebuah desa di wilayah kecamatan Pawitan, lebih kurang 20 km dari desa Cangkuang
sekarang. Dalam tulisan itu disinggung tentang temuan sebuah arca (Hindu) di
sekitar situ Cangkuang dan sebuah makam keramat yang sangat dihormati oleh
penduduk setempat. Tahun 1914 sebuah artikel dalam R.O.D. mengungkapkan
adanya situs hunian (Prasejarah) di wilayah sekitar situ Cangkuang. Pernyataan ini
didukung oleh Furer-Heimendorf (1939) yang melakukan penelitian di lembah-
lembah sekitar gunung Haruman, Kaledong, Mandalawangi, dan gunung Guntur.
Penelusuran kembali atas penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Uka
Tjandrasasmita (1966-1976), menghasilkan pemugaran situs cangkuang secara
keseluruhan.
Beberapa tulisan yang membahas tinggalan arkeologi dari masa prasejarah,
antara lain “Peninggalan-peninggalan prasejarah di sekitar danau Cangkuang, Leles”,
yang ditulis Nies Anggraeni dalam Kalpataru tahun 1976. Dalam tulisannya,
Anggraeni mendeskripsikan keberadaan tinggalan arkeologi dari masa prasejarah di
pulau-pulau kecil dan bukit-bukit kecil Situ Cangkuang. Dalam tulisan ini Anggraeni
tidak membahas lebih lanjut keberadaan tinggalan tersebut sampai taraf eksplanasi.
Tulisan sejenis ditulis oleh Satyawati Suleiman dalam Monuments of Ancient
Indonesia (1976), mengenai tinggalan budaya prasejarah, Hindu Budha, dan Islam.
Dalam tulisan ini Satyawati lebih menitikberatkan bahasan pada keberadaan Candi
Cangkuang sebagai bangunan suci Hindu Saiwa.
5



Permasalahan Candi Cangkuang juga dibahas oleh Etty Saringendyanti dalam
tesisnya berjudul Pola Penempatan Situs Upacara: Kajian Lingkungan Fisik
Kabuyutan di Jawa Barat pada Masa Hindu Budha, tahun 1996, dan ditulisnya pula
dalam Bab II Sejarah Tatar Sunda Jilid I, karya bersama Nina H. Lubis (dkk.) tahun
2003 dan terbitan revisi tahun 2004. Tulisan-tulisan non penelitian berupa artikel dan
cukilan buku dapat ditemukan pada beberapa website. Namun demikian, tulisan yang
langsung menunjukkan keterkaitan antara tinggalan arkeologi dengan masyarakat
adat Kampung Pulo belum ditemukan, terlebih lagi dalam kaitannya dengan studi
keberlanjutan budaya di situs itu.


TATA RUANG SITUS
Situs Cangkuang terletak
di
Kampung
Pulo,
Desa
Cangkuang, Kecamatan Leles,
Kabupaten Garut. Untuk men-
capai lokasi Situ Cangkuang
dapat
ditempuh
dengan
kendaraan roda empat. Per-
jalanan dimulai dari arah jalan raya Bandung - Tasikmalaya, lebih kurang 9 km
meninggalkan Bandung, tidak jauh setelah turunan tajam Nagrek, akan ditemukan
persimpangan menuju Kabupaten Garut atau jantung Kota Garut. Setibanya di alun-
alun kota Kecamatan Leles, tepatnya beberapa meter sebelum alun-alun, perjalanan
membelok ke kiri menuju Desa Cangkuang dan Kampung Ciakar. Dari pertigaan
6



Kota Garut - Desa Cangkuang - Desa Ciakar ini perjalanan menuju Desa Cangkuang
masih dapat dilanjutkan dengan kendaraan roda empat, atau angkutan umum lainnya
yang menjadi pilihan untuk wisata, seperti ojek, delman, maupun berjalan kaki
sejauh + 6 km.
Dari Balai Desa Cangkuang pengunjung langsung menuju Kampung Ciakar
yang berjarak + 1,25 km dan sampai di kompleks kantor wisata daerah yang berada
di sisi danau. Dari perkantoran ini ke lokasi candi harus ditempuh dengan naik rakit
bambu wisata.
Sementara itu, + 300 meter sebelum kantor wisata, pengunjung dapat memilih
jalan setapak di atas sebuah bendungan dan dilanjutkan melalui jalan setapak di
pematang sawah, sebagaimana diurai di muka.
Jika pengunjung memilih rute dari kantor wisata daerah, perjalanan kemudian
dilanjutkan menuju candi mendaki bukit kecil setinggi +10 meter dari permukaan air
danau. Para pengunjung bisa saja berjalan dengan menempatkan bukit di sisi kiri,
dengan demikian teras pertama dari bukit merupakan kompleks pemakaman
penduduk setempat. Akan tetapi oleh dinas wisata, pengunjung diarahkan agar bukit
berada di sisi kanan, yaitu melalui tangga melingkari bukit yang disediakan oleh
dinas pariwisata menuju candi. Sesampai di pintu pemeriksaan berikutnya, jalan
bercabang. Ke kiri tangga mendaki menuju bangunan candi, dan ke kanan ke
kompleks perumahan desa adat Kampung Pulo.
Sementara itu, jika pengunjung memilih jalan setapak yang berada sekitar + 300
meter sebelum kantor wisata daerah, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki
menuju pulau terdekat. Di pulau tersebut terdapat sebuah bangunan sarana pariwisata
7



yang saat ini terbengkalai. Dari sini bila pandangan diarahkan ke seputar, terlihat
bahwa Pulau Panjang atau Pulau Gede berbentuk memanjang, membujur arah barat-
timur dengan ukuran luas 16,5 hektar. Dan dua pulau lainnya terletak di sebelah
selatan dan tenggara Pulau Panjang atau Pulau Gede. Kedua pulau kecil pendamping
ini berukuran lebih kecil dan berbentuk agak bulat. Di sekeliling pulau kecil ini
merupakan daratan rawa yang berair.
Secara geografis Situs Cangkuang merupakan sebuah kawasan perbukitan kecil
dengan ketinggian + 695 - 706 meter d.p.l. di lembah yang luas dan berhawa sejuk,
terutama karena dikelilingi oleh sejumlah gunung, yaitu di utara membentang
gunung Mandalawangi, Kaledong dan gunung Haruman, di sebelah timur gugusan
gunung Batara Guru, di barat gunung Guntur, dan di sebelah selatan gunung Cikurai,
dengan curah hujan rata-rata setiap tahun 2.044.5 mm. Di situs ini, peninggalan
arkeologi tersebar di 11 pasir dan di sekitar danau (situ) Cangkuang.
Ironisnya, sejak beberapa dasawarasa terakhir pasir-pasir yang menyimpan
tinggalan arkeologis ini telah menjadi lahan pertanian, baik sebagai persawahan
tadah hujan maupun ladang palawija dan sayur-sayuran. Selama penggarapan itu
telah banyak temuan permukaan dan deposit tinggalan arkeologi hilang begitu saja.
Kebanyakan dari temuan itu berupa alat-alat obsidian, pecahan gerabah, dan sisa-sisa
bangunan megalitik. Sejak dihentikannya penggarapan oleh penduduk setempat,
pasir-pasir tersebut ditumbuhi semak belukar dan terbengkalai. Sehingga kurang
diminati sebagai obyek wisata sebagaimana bangunan candi, Desa Adat Kampung
Pulo dan makam Embah Dalem Arief Muhamad, Eyang Sunan Pangadegan dan
makam Eyang Ratu Sima
8



Bangunan candi, Desa Adat Kampung Pulo serta makam-makam suci tersebut
secara fisik saat ini terletak di bukit kecil di atas lahan berupa semenanjung yang
menjorok ke tengah danau ke arah timur. Jika dilihat dari sisi utara-selatan, akan
terlihat deretan tiga pulau kecil di tengah danau, dimana candi dan makam Embah
Dalem Arief Muhamad, Eyang Sunan Pangadegan dan makam Eyang Ratu Sima
berada di pulau terbesar dari tiga pulau kecil itu. Oleh penduduk setempat pulau
tempat berdirinya candi disebut dengan nama Pulau Panjang atau Pulau Gede,
sementara itu danau (situ) dan bangunan candi diberi nama Situ Cangkuang dan
Candi Cangkuang.
Dilihat dari keadaaan fisik
lahan (tata ruang) yang disebu
t
Pulau
Panjang,
sangat
besar
kemungkinan bahwa lahan tersebut
merupakan sebuah pulau dalam arti
sebenarnya di tengah sebuah danau.
Bagian yang merupakan sambungan
(semenanjung) berada di sisi utara,
merupakan bagian danau yang mengering dan telah dijadikan lahan persawahan
sejak puluhan tahun terakhir. Kemudian sebuah pulau kecil di sisi barat Pulau
Panjang oleh penduduk setempat “ditautkan” melalui pembuatan bendungan dan di
atasnya menjadi jalan setapak untuk ziarah ke kuburan kuno di pulau kecil tersebut.
Dan sisi selatan pulau kecil ini “ditautkan” oleh jalan setapak di atas lahan danau
yang mengering ke sebuah pulau lainnya yang lebih besar. Dan pulau yang lebih
9



besar ini “ditautkan” ke tepian danau oleh bendungan yang memiliki jalan setapak
pula.


TINGGALAN BUDAYA PRASEJARAH
Sisa-sisa tinggalan prasejarah tersebar di pulau-pulau kecil dan bukit-bukit
kecil sekitar danau, baik yang secara administratif sekarang termasuk desa
Cangkuang ataupun desa-desa lain sekitarnya, yang oleh penduduk setempat disebut
pasir. Sampai saat ini artefak prasejarah ditemukan di Pasir Guling, Pasir lio, Pasir
Sempur, Sadang Gentong, Pasir Palalangon, Pasir Kondeh, Pasir Tanggal,. Pasir
Canggal, Pasir Muncang, Pasir Laku, dan Pasir Tarisi, sebagaimana dapat dilihat
pada peta dan table temuan berikut.

10



TABEL TEMUAN
JENIS TEMUAN
NO
SITUS
Alat
Manik-
Sarana
Gerabah
Kereweng
Lainnya
Obsdian
manik
upacacara

1.
Pasir Guling






batu
2.
Pasir Lio





asahan
Pasir
pembuatan
3.





Sempur
gerabah
Sadang
pembuatan
4.





Gentong
gerabah
Pasir

5.





Palalangon

Pasir

6.





Kondeh

Pasir

7.





Tanggal

Pasir

8.





Canggal

Pasir
kapakneolit
9.





Muncang
batu api

10.
Pasir Laku






beliung
11.
Pasir Tarisi





persegi



11





A. ALAT-ALAT OBSIDIAN
Alat-alat obsidian,3 berdasarkan analisis bentuk dan fungsi terbagi atas:
A. Serpih, terdiri dari bentuk Serut Ujung, Serut Cekung, Serut Samping, Serut
Cekung Ganda, Serut Gigir, dan Lancipan (gambar 1)

Gambar 1 : Alat-alat obsidian bilah pendek
Sumber : Wibowo, 2002


B. Bilah, terdiri dari bentuk Pisau, Serut Samping, dan Serut Ujung (gambar 2)

Gambar 2 : Alat-alat obsidian bilah pendek
Sumber : Wibowo, 2002


C. Bilah Pendek, terdiri dari Pisau dan Serut Samping, secara anatomis bentuknya
hampir sama dengan bilah tetapi ukurannya lebih pendek (gambar 3).

Gambar 3 : Alat-alat obsidian bilah pendek
Sumber : Wibowo, 2002



3 Anggraeni (1976, 1978), dalam Wibowo, 2002: 18-21.
12





B. GERABAH
Penelitian Anggraeni dan Rachmiana4 terhadap fragmen-fragmen gerabah
menghasilkan keragaman bentuk, yaitu piring, periuk, cawan, pasu, tempayan, dan
kendi.
Piring merupakan bentuk
wadah yang pembuatannya masih
dijumpai
di
Desa
Sadang
Gentong, sedangkan tempayan
(gentong) selain dibuat di Sadang
Gentong juga di Pasir Sempur.
Gerabah yang diproduksi di Pasir Sempur berbentuk cobek (untuk menggiling
cabai), cuwo (semacam mangkuk besar, digunakan untuk tempat air dan lainnya),
dan sangrayan (semacam cobek tapi besar dipakai untuk menggoreng tanpa minyak)
C. SARANA PEMUJAAN
Sebagaimana telah diuraikan pada
bagian sebelumnya, meskipun ternyata
masih dianggap kurang lengkap, bahwa
gambaran yang umum tentang bangunan
keagamaan dari masa prasejarah adalah
tradisi megalitik. Sarana pemujaan yang
ditemukan berupa bangunan megalitik
berbentuk Stone enclosure, batu kursi (pelinggih), altar, menhir, dan teras berundak.

4 Anggraeni, 1976: 56-70; dan Rachmiana, 2004: 75-80
13



TINGGALAN BUDAYA HINDU BUDHA
Artefak masa Hindu Budha
yang ditemukan di Situs Cangkuang
adalah Candi Cangkuang, yang saat
ini menjadi sebuah obyek wisata.
Candi
Cangkuang
adalah
hasil
rekonstruksi
dari
serentetan
penelitian dan pemugaran. Kendatipun dari sudut
pandang pemugaran mungkin Candi Cangkuang tidak
layak untuk dipugar karena sisa bangunan yang
ditemukan sangat tidak memadai, namun sisi penelitian
dan monumental membuka peluang menghadirkan
Candi
Cangkuang
sebagai
candi yang
dipugar
seutuhnya tanpa detail arsitektural seperti hiasan
ornamental yang biasanya menghiasi ruang-ruang
tertentu pada candi.
Candi hasil pemugaran yang diduga berasal dari sekitar abad ke 8-9 Masehi,
berdiri pada sebuah lapik bujursangkar. Di sisi utara badan bangunan terdapat
penampil pintu masuk, dan atap bangunan terdiri dari dua tingkatan dengan hiasan
kemuncak di puncak atapnya. Bagian dalam bangunan terdapat ruangan dengan
14



lantai yang pada bagian tengahnya terdapat lubang, dan di atas lubang tersebut
ditempatkan sebuah arca Siwa Mahadewa dari batu andesit.5
Arca tersebut ditemukan sekitar tahun 1800-an. Kedua tangan dari siku hingga
sedikit di atas pergelangan putus Perut terlihat sangat ramping dan mengkilap licin.
Dilihat dari tidak adanya alur patahan tangan pada bagian perut (pinggang) memberi
kesan bahwa bagian atas (dada ke atas) dan bagian bawah (dada ke bawah)
merupakan dua fragmen arca dewa yang disatukan.
Keseluruhan arca dewa ini duduk bersila di atas bantalan teratai (padmasana).
Mengenakan jatamakuta (gelungan rambut), mempunyai sirascakra (lingkaran
kedewaan yang terletak di belakang kepala), tangan kanan bersikap varamudra
(sikap tangan memberi anugrah), dengan sikap duduk Paryankasan, dan di bagian
depan kaki kiri terdapat kepala seekor sapi (nandi).


TINGGALAN BUDAYA ISLAM
Makam kuno di situs Cangkuang tersebar di
beberapa tempat. Makam terbesar dan paling sering
dikunjungi oleh penziarah adalah makam yang
tepat berada di sisi utara bangunan candi, berjarak
sekitar 1 s/d 2 meter saja, sehingga menjadi satu
kesatuan
di halaman
percandian.
Penduduk
setempat mempercayainya sebagai makam Arief

5 Utomo, http://www.budpar.net/, diakses pada 10-4-2007, dan pengamatan di lapangan.

15



Muhammad, seorang yang dikeramatkan sebagai penyebar agama Islam pertama di
wilayah itu.
Saat ini makam ditampilkan berbentuk kijing bercungkup dengan lapik tunggal
di atas lantai dari mozaik batu pipih, berorientasi barat – timur.
Makam lainnya adalah makam Eyang Sunan Pangadegan dan Eyang Ratu
Sima, berada di sisi tenggara Pulau Panjang, pada sebuah puncak bukit yang berdiri
di atas bangunan teras berundak tiga.


Gambar 4 : Sketsa tampak samping makam Eyang Sunan
Pangadegan dan Ratu Sima

Makam lainnya yaitu Makam Prabu Santosa atau Prabu Santoa’an, serta
makam Prabu Wiradibaya dan Prabu Wiradijaya yang masing-masing berada di
pulau-pulau kecil lainnya. Makam Prabu Santosa secara fisik terlihat seperti makam
16



penduduk desa umumnya, demikian juga makam Parabu Wiradibaya dan Prabu
Wirawijaya. Agaknya perbedaan fisik dengan makam Eyang Sunan Pangadegan atau
Eyang Ratu Sima misalnya karena letak yang terpisah dan tidak banyak dikunjungi
penziarah.
Secara keseluruhan, tata ruang Situs Cangkuang adalah tinggalan budaya
prasejarah tersebar di luar kawasan situ Cangkuang, sedangkan bangunan candi,
Desa Adat Kampung Pulo serta makam-makam suci, secara fisik saat ini terletak di
bukit kecil di atas lahan berupa semenanjung yang menjorok ke tengah danau ke arah
timur. Jika dilihat dari sisi utara-selatan, akan terlihat deretan tiga pulau kecil di
tengah danau, dimana candi dan makam Embah Dalem Arief Muhamad, Eyang
Sunan Pangadegan dan makam Eyang Ratu Sima berada di pulau terbesar (Pulau
Panjang/Pulau Gede) dari tiga pulau kecil itu.


KEBERLANJUTAN BUDAYA SUNDA
Keberlanjutan budaya Sunda, dapat dilihat pada masyarakat yang masih
menyimpan tradisi Sunda sebagaimana yang terlihat pada Masyarakat Adat
Kampung Pulo. Saat ini mereka menempati lahan seluas tidak lebih dari 2,5 ha.
Dengan luas tergolong kecil itu Kampung Pulo merupakan kawasan yang
“menyendiri”, jauh dari pemukiman lainnya. Hal ini mungkin karena lingkungan
alam berupa pulau kecil di tengah situ dan juga karena sebagai masyarakat adat,
mereka harus menjaga kelestarian adat dan tradisi yang mereka terima. Sesuai tradisi,
sekarang ini mereka dipimpin oleh seorang pemangku adat bernama Koswara (lihat
gambar 5).
17


GAMBAR 5: BAGAN SILSILAH PEMANGKU ADAT MASYARAKAT KAMPUNG PULO


Menurut Koswara (sehari-hari dipanggil Engkos)6 penduduk yang mendiami
desa adat Kampung Pulo adalah keturunan langsung dari Embah Dalem Arief
Muhammad.7 Besar kemungkinan pada masa pengislaman di Kampung Pulo oleh
Arief Muhammad, ajaran Hindu tidak serta merta hilang, akan tetapi tetap berjalan
sejajar (paralelisme) untuk tidak dinyatakan melebur satu sama lain (syncretisme).
Hal tersebut dapat dilihat dengan dipilihnya pusat keagamaan (ceremonial centre)

6 Wawancara dengan Koswara, Kuncen masyarakat Adat Kampung Pulo, 11 September
2007.
7 Arief Muhammad adalah salah seorang menantu Sultan Sumenep (Madura) yang sedang
mengabdi sebagai panglima perang dan diperintahkan oleh Sultan Agung dari kerajaan
Mataram Islam untuk membersihkan Kota Batavia dari pendudukkan tentara Belanda di
masa kolonial J.P. Coen (Sudrajat, dalam: http\\www.pikiran-rakyat.com; Rif’ati, 2002:
204).
18



Hindu sebagai tempat tinggal Arief Muhammad, yaitu bukit tempat berdirinya Candi
Cangkuang. Tempat ini pun kemudian menjadi pusat penyebaran agama Islam, baik
sebelum dan sesudah Arief Muhammad meninggal yang kemudian dimakamkan di
dekat Candi Cangkuang.
Agama Islam yang dianut mereka sebagaimana layaknya Islam pada umumnya.
Sejumlah kepercayaan dan larangan yang ada dalam masyarakat lebih kepada
ekspresi dari sistem kemasyarakatan yang telah mereka terima turun temurun.
Pemangku adat --lebih sering disebut kuncen-- merupakan tokoh sentral yang
dipercayai sebagai pemegang otoritas sistem kemasyarakatan dan kepercayaan itu.
Syarat utama pemangku adat adalah suami dari anak perempuan tertua yang masih
hidup. Sebagai tokoh adat seyogyanya seorang pemangku adat harus memahami
makna dan simbol adat dan tradisi yang berlaku, bijaksana, dan berwibawa.
Melihat syarat utama yang berlaku, dapat dilihat bahwa seorang pemangku
adat tidak harus memiliki garis keturunan Arief Muhammad. Boleh jadi ia “seorang
asing” yang menjadi anggota keluarga masyarakat adat Kampung Pulo karena
perkawinan. Berdasarkan keterangan Koswara, diketahui bahwa sistem perkawinan
yang berlaku adalah endogami maupun eksogami, dan perkawinan demikian itu telah
berjalan sejak dari awal. Pemahaman atas makna dan simbol adat dan tradisi yang
berlaku merupakan suatu hal yang dapat dipelajari kemudian (extrasomatic).
Menjadi seorang pemangku adat berarti menjadi seorang yang menjaga
keberlanjutan adat dan tradisi. Berwibawa dan bijaksana dalam menjaga hal tersebut
menjadikan seorang pemangku adat dipercaya memiliki kelebihan tertentu berkaitan
dengan harapan seluruh anggota masyarakat, memberikan ketenangan dan
kententraman, serta menjaga keselarasan hidup.
19



Dalam kaitannya dengan harapan anggota masyarakat, seorang pemangku adat
dianggap wakil terpilih untuk berhubungan dengan para leluhur, sehingga segala
sesuatu yang menjadi keinginan masyarakat dapat disampaikan melalui perantaranya.
Begitu pula sebaliknya, segala sesuatu yang menjadi keinginan para leluhur untuk
kepentingan dan masa depan keturunan mereka disampaikan melalui pemangku adat,
baik melalui firasat saat berdoa, mimpi, atau gejala-gejala alam.
Dalam pada itu, ketenangan, ketentraman, dan keselarasan dapat dicapai
apabila anggota masyarakat berpegang teguh pada apa yang disampaikan pemangku
adat dalam bentuk dongeng, cerita atau mitos, terutama pada apa yang menjadi
pantangan dan apa yang perlu ditaati, yaitu 5 ketentuan (lima pamali) berikut :
1. Terlarang untuk bekerja dan berziarah pada hari Rabu;
Hari Rabu merupakan hari pilihan untuk mempelajari dan memperdalam
pengetahuan agama, seluruh anggota masyarakat dilarang bekerja serta berziarah
ke makam Embah Dalem Arief Muhammad. Oleh karena larangan itu para
penziarah tamu pun dilarang berziarah, namun kalau pun ada yang datang karena
mereka tidak tahu maka pemangku adat --dalam hal ini menjadi kuncen-- dan
anggota masyarakat Kampung Pulo lainnya tidak boleh melayani mereka.
2. Terlarang untuk memelihara hewan peliharaan berkaki empat kecuali kucing;
Larangan ini lebih diperuntukkan kepada menjaga kesucian dan kebersihan desa
adat Kampung Pulo dari gangguan dan kotoran hewan peliharaan berkaki empat
selain kucing. Pengecualian terhadap kucing berkaitan dengan kepercayaan bahwa
hewan tersebut merupakan peliharaan kesayangan Nabi Muhammad.
3. Terlarang menambah dan mengurangi jumlah rumah;
20



Jumlah rumah di desa adat Kampung Pulo berjumlah enam, sesuai jumlah anak
perempuan Arief Muhammad yang tersisa. Yang berhak menempati atau mewarisi
rumah adalah anak perempuan tertua masing-masing keluarga berupa keluarga
batih untuk menjaga kenyamanan rumah dan ketenangan rumah tangga. Artinya
baik anak perempuan tertua maupun bukan, 15 hari sesudah upacara perkawinan
pasangan pengantin tersebut harus meninggalkan rumah untuk tinggal di luar desa
adat Kampung Pulo. Apabila saatnya tiba --dalam hal ini jika ibu pewaris
meninggal dunia-- maka anak perempuan tertuanya beserta keluarga batihnya
yang tinggal di luar desa adat Kampung Pulo harus kembali menempati rumah di
desa adat Kampung Pulo. Jika kebetulan anak perempuan tertua yang berhak
berstatus janda, maka hak waris jatuh kepada anak perempuan tertua berikutnya
yang masih bersuami
4. Terlarang membuat atap rumah berbentuk prisma;
Larangan membuat atap rumah berbentuk prisma berkenaan dengan kejadian
tragis yang menimpa satu-satunya anak lelaki Embah Dalem Arief Muhammad,
sebagaimana dikisahkan secara turun temurun oleh pemangku adat. Tatkala anak
lelaki semata wayang Embah Dalem Arief Muhammad cukup umur untuk
dikhitan, maka dilaksanakanlah upacara khitanan yang menyertainya termasuk
mengarak “raden nganten” dalam sebuah tandu berbentuk prisma. Pada saat
diarak, tiba-tiba datang angin kencang yang membuat arak-arakan kocar-kacir dan
mencelakakan “raden nganten” hingga meninggal dunia. Untuk memperingati
kejadian tragis itu, maka desa adat Kampung Pulo pamali membuat atap
berbentuk prisma.
5. Terlarang memukul gong besar.
21



Pamali ke 5 ini masih berkenaan dengan kejadian pamali ke 4. Sebagaimana
diurai pada pamali ke 4 sebuah kejadian tragis telah menimpa arak-arakan “raden
nganten” dan dalam kejadian itu gong besar merupakan alat musik dalam gamelan
pengiring. Jadi untuk memperingati kejadian tragis itu, maka desa adat Kampung
Pulo pamali membunyikan gong besar. Oleh karena itu, di Kampung Pulo
kesenian tidak berkembang sebagaimana layaknya kesenian di daerah lain.
Sampai saat ini, upacara adat yang dilakukan secara periodik antara lain
upacara yang berkaitan dengan lingkaran kehidupan (life cycle), yaitu: perkawinan;
kehamilan misalnya upacara Nujuh Bulan; kelahiran bayi (Marhabaan); kematian
misalnya tiluna, tujuhna, matangpuluh, natus, muluh, nyewu, nyeket, dan mendak;
pertanian; mendirikan rumah misalnya mitembeyan, ngadegkeun, suhunan, dan
syukuran ngalebetan; serta Ngaibakan Benda Pusaka.
Dari upacara-upacara adat itu, yang dianggap khas karena mempunyai nilai
khusus bagi mereka adalah upacara Ngaibakan Benda Pusaka yang dilakukan pada
saat purnama (tanggal 14) bulan Maulud. Dalam upacara itu, benda-benda yang
dianggap suci seperti tombak, keris, kujang, dan benda-benda pusaka lainnya dicuci
bersih. Peserta upacara tidak hanya masyarakat Kampung Pulo melainkan juga
masyarakat di sekitar Kampung Pulo bahkan dari luar Garut seperti Bandung,
Tasikmalaya, Ciamis, dan sebagainya.
Pola perkampungan masyarakat adat Kampung Pulo, juga harus sesuai adat
yaitu 7 bangunan utama terdiri dari 6 rumah dan 1 mushola yang ditata membentuk
huruf U. Dalam luas wilayah sekitar 0,5 hektar, 7 bangunan itu ditata membentuk
huruf U, masing-masing dua deret/baris, satu deret/baris terdiri atas tiga rumah
dengan jarak dan ukuran rumah hampir sama.
22


GAMBAR 6 : DENAH KOMPLEK RUMAH ADAT KAMPUNG PULO

Denah rumah berbentuk empat persegi panjang, membujur dari arah barat-
timur dengan arah hadap utara atau selatan. Dengan arah hadap demikian, setiap
rumah saling berhadapan dengan pembatas tanah lapang, yang sekaligus menjadi
halaman rumah dan jalan, serta tempat untuk bertamu, berkumpul dan berbincang-
bincang warga kampung di sore hari selepas bekerja. Di belakang rumah, terdapat
bangunan terpisah berupa kamar mandi (MCK) dan kandang ternak (ayam atau
bebek).8
Sementara itu, salah satu rumah
tinggal
hasil
pemugaran
Suaka
Peninggalan Sejarah dan Purbakala
Propinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan
Lampung, yang disesuaikan dengan
bentuk bangunan rumah asli (rumah no. 4), dan bangunan rumah lain (rumah no. 1,

8 Rif’ati, 2002: 216-218, dan pengamatan di lapangan.
23



2, 3, 5, dan 6) dalam pengamatan terakhir terlihat telah ada penambahan, namun
secara prinsipil (menurut istri kuncen) tidak mengubah bentuk maupun pembagian
ruang bangunan. Penambahan tersebut berupa dinding bilik di sisi ruangan no.2
(ruang tamu) sehingga mendapat sebuah ruangan tertutup yang bisa dijadikan ruang
tamu atau kamar tidur.

Baik rumah hasil pemugaran maupun rumah lainnya memiliki bagian-bagian
rumah sebagai berikut (Perhatikan gambar no: 8, sketsa bangunan}
a. Tatapakan batu (umpak batu), merupakan fondasi tiang berbentuk persegipanjang,
terbuat dari batu alam dengan permukaan relatif rata. Umumnya dibuat untuk
menjaga ketahanan tiang.
b. Golodog terbuat dari kayu, terletak di bawah lantai ruang tamu dan pintu dapur.
Golodok berfungsi sebagai tangga masuk ke rumah, untuk duduk
atau
mengerjakan pekerjaan ringan seperti menganyam, meraut bambu, membuat
kerajinan dari bambu atau untuk mencuci kaki sebelum masuk rumah.
24



c. Ruang tepas, merupakan ruang tamu yang berasal dari ruang terbuka (bangunan
asli) yang ditutup dengan dinding terbuat dari bilik yang dianyam dengan pola
anyaman kepang. Secara keseluruhan ruangan ini dibuatkan lantai terbuat dari
anyaman bambu (bilik) dengan pola yang sama. Lantai bilik digelarkan di atas
bambu bulat (utuh).
d. Pintu, terdiri dari dua pintu masuk utama, yaitu pintu depan terletak di ruang tamu
dan pintu belakang terletak di dapur. Pintu masuk penunjang, terdapat di tiap-tiap
ruang tidur, dan pintu ruang t
engah menuju dapur. Pintu berb
entuk
persegipanjang, berukuran 1,75 meter x 1 meter, dan dibuat dari bilik sasag dan
kayu. Pada umumnya, pintu mempunyai ukuran, bentuk, dan bahan sama.
e. Tiang, berjumlah 16 buah dan terbuat dari kayu. Tiang merupakan pendukung
rangka atap, lantai serta sebagian rangka bangunan rumah induk. Paku digunakan
sebagai penguat konstruksi bangunan.
f. Jendela, terletak di bagian depan, samping, atau belakang dengan ukuran yang
hampir sama. Pada umumnya jendela berukuran 1 meter x 0,90 meter, berbentuk
persegipanjang dan pada bagian tersebut dipasang kayu dengan jarak tertentu
secara vertikal (jalosi), serta daun jendela kayu sebagai penutupnya.
g. Atap, berbentuk julang ngapak (sikap burung julang merentangkan sayap) yang
memiliki empat buah bidang atap. Dua bidang atap bertemu pada garis suhunan
dan letaknya menurun miring. Dua bidang atap lainnya merupakan kelanjutan dari
bidang-bidang itu dengan membentuk sudut tumpul, pada garis pertemuan antara
keduanya. Bidang atap tambahan yang menandai ini disebut leang-leang.
h. Di bagian pertemuan kedua belah atap, dibentuk menyerupai tanduk lurus disebut
cagak gunting atau capit hurang dan dililitkan ijuk. Fungsi capit hurang secara
25



teknis adalah untuk mencegah air merembes ke dalam para. Penutup atap di ruang
tamu menggunakan bambu bulat yang dipasang berjajar (talahab). Penutup atap
lainnya dibuatkan daro, terbuat dari daun alang-alang atau rumbia dan ijuk yang
diikat dengan tali dari bambu ke bagian atas dari rangka atap. Untuk memperkuat
bagian itu digunakan paku.
Langit-langit/Plafon, terbuat dari bilik dengan pola anyaman kepang. Jarak dari
lantai rumah ke langit-langit berukuran tinggi 3 meter. Dalam pemasangannya,
lembaran bilik diletakkan di bagian atas, dan di bawahnya diletakkan bambu bulat
yang dijajar dengan jarak antar bambu relatif sama.
Sementara itu, pembagian (penataan) ruangan dan fungsi masing-masing
ruangan rumah tinggal adalah sebagai berikut (perhatikan gambar no: 8, denah
bangunan):
1. Golodog, berfungsi sebagai tangga masuk ke rumah.
2. Ruang tamu, berukuran 5,60 meter x 5,60 meter, berfungsi untuk menerima tamu,
tempat berkumpul warga, tempat bermusyawarah, dan ruangan santai di siang
hari. Ruangan ini merupakan ruang terbuka tanpa dinding terletak di bagian muka
rumah, yang dibiarkan kosong tanpa perkakas rumah, seperti meja, kursi atau
bale-bale. Pada rumah lain, ruang ini ditutup dinding bilik (ruang tepas).
3. Ruang tidur tamu, terletak di sebelah kiri ruang tamu. Bila tidak ada tamu yang
menginap, ruangan ini dibiarkan kosong.
4. Ruang tidur utama, berukuran 3,80 meter x 2,75 meter, terletak di bagian rumah
sebelah kanan, dan berfungsi sebagai ruang tidur keluarga. Ruang tidur terdiri dari
dua kamar tidur keluarga dan satu kamar tidur tamu (yang masih terhitung
keluarga. Setiap kamar diberi pembatas dinding bilik dan satu pintu).
26



5. Ruang tengah, berukuran 7,60 meter x 2,90 meter, terletak di bagian tengah
rumah. Letak ruangan ini diapit dengan ruang tamu, kamar tidur, dan dapur.
Ruang tengah berfungsi sebagai tempat berkumpul keluarga, dan biasanya
terdapat kursi, meja, lemari, dan TV.
6.. Dapur, terletak di bagian kanan, dan berfungsi untuk kegiatan masak memasak.
Di dapur terdapat tungku perapian atau hawu yang terbuat dari tumpukan bata dan
diberi alas (parako) agar lantai bambu atau palupuh tidak terbakar. Di atas tungku
dibuat atap agak rendah (
paraseuneu), yang digunakan sebagai temp
at
menyimpan barang-barang, seperti kayu bakar, jagung, ubi jalar, dan sebagainya.
7. Goah, merupakan ruangan kecil yang terletak di bagian dapur sebelah kanan,
berukuran 7,60 x 2,70 m. Ruangan ini berfungsi untuk menyimpan padi atau
beras.
Selain bangunan utama, terdapat bangunan lain yang terpisah dan terletak di
belakang rumah, yaitu kamar mandi dan kandang ternak.


Gambar 8: SKETSA DAN DENAH RUMAH ADAT KAMPUNG PULO
(Sumber Rif’ati 2002: 225)
27


Mushola berbentuk bangunan berdenah empatpersegi, terdiri dari bangunan
utama dan tempat berwudhu. Bangunan utama merupakan bangunan panggung
(berkolong). Tempat berwudhu berada di sebelah kanan bangunan utama, berukuran
7,90 meter x 4,30 meter, terbuat dari beton dengan sumber air yang berasal dari
sumur di sampingnya.

Ruangan bangunan utama dibagi menjadi ruang sholat dan ruang depan. Ruang
depan merupakan ruang terbuka berukuran 2,50 meter x 2,15 meter yang berfungsi
sebagai tempat berkumpul setelah sholat. Untuk menuju ruang sholat digunakan
sebuah pintu masuk. Ruang sholat berukuran 4,30 meter x 3,50 meter. Dan
sebagaimana layaknya sebuah mushola di ruangan ini terdapat sebuah mihrab
sebagai arah kiblat dan tempat imam memimpin sholat berjamaah, berukuran 1,90
meter x 1,70 meter. Dinding atap dan sekat ruang seluruhnya dibuat dari bilik. Lantai
terbuat dari palupuh dan tangga dari papan. Atap berbentuk julang ngapak dengan
28



penutup atap dari alang-alang/ijuk. Ruangan ini dilengkapi dengan jendela kayu di
kanan kirinya.
29


DAFTAR SUMBER
Anggraeni, Nies. 1976. “Peninggalan-peninggalan Prasejarah di sekitar danau
Cangkuang (Leles), dalam Kalpataru No 2. Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional.
Binford, Lewis R. 1972. An Archaeological Perspective. New York: Seminar Press..
Mundardjito. 1981. “Etnoarkeologi: Peranannya dalam Pengembangan Arkeologi di
Indonesia”, dalam Majalah Arkeologi Th IV, No.1. Jakarta: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
Rachmiana, Siti. 2004. Analisis Bentuk dan Ragam Hias Gerabah Situs Leles,
(Garut). Skripsi Sarjana Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia. Depok: Fakultas FIB UI.
Rif’ati, Heni Fajria dan Toto Sucipto. 2002. Kampung Adat dan Rumah Adat di Jawa
Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat.
Saringendyanti, Etty. 1996. Pola Penempatan Situs Upacara Masa Hindu Budha:
Kajian Lingkungan Fisik Kabuyutan di Jawa Barat. Jakarta: Pr
ogram
Pascasarjana Universitas Indonesia (Tesis S2).
Suleiman, Satyawati. 1976. Monuments of Ancient Indonesia. Jakarta: Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional
Wibowo, Santoso. 2002. Alat-Alat Obsidian Leles: Suatu Kajian tentang Hubungan
Peretusan dengan Pemakaian Alat. Skripsi Sarjana Arkeologi Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Depok: Fakultas FIB UI.



Internet
http:\\www.garut.go.id/pariwisata, diakses 15 Mei 2007.
http:\\www.wikipedia.org/Kampung_Pulo, diakses 15-5-2007.
AMGD, http:\\www.navigasi.net, diakses 15-5-2007.
Bambang Budi Utomo, Candi Cangkuang, dalam http:\\www.disbudpar.net, diakses
10 April 2007.
Loupias, Henry H. 1982. Arsitektur Tradisional daerah Jawa barat, dalam
http:\\www.pikiran_rakyat.com/, diakses pada 15-5-2007).
Undang Sudrajat, dalam http:\\www.pikiran-rakyat.com/, diakses pada 15 Mei-2007.

Sumber: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/pola_tata_ruang_situs_cangkuang.pdf

No comments:

Post a Comment