Saturday, March 26, 2011

Pemkot Bogor Upayakan Terbit Perda Cagar Budaya

Pemkot Bogor Upayakan Terbit Perda Cagar Budaya

BOGOR, (PRLM).- Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor akan mengupayakan terbitnya peraturan daerah (perda) tentang pelestarian bangunan, atau lingkungan cagar budaya. Hal ini dibutuhkan untuk mengantisipasi perkembangan pembangunan di Kota Bogor yang sangat cepat. Demikian disampaikan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bogor, H. Ade Syarif Hidayat dalam acara work-shop pembinaan dan pelestarian budaya dan sejarah daerah, di Wisma Warung Kondang, Jln. Dr. Semeru, Kel. Menteng, Kec. Bogor Barat, Kota Bogor, Kamis (18/11)."Kalau tidak secepatnya dibuatkan aturan payung hukum untuk melindungi benda benda cagar budaya dikhawatirkan benda-benda cagar budaya yang memiliki nilai sejarah di masa lalu akan punah," kata H. Ade Syarif Hidayat.
Pemkot Bogor Upayakan Terbit Perda Cagar Budaya
Kamis, 19 November 2009 , 01:08:00

BOGOR, (PRLM).- Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor akan mengupayakan terbitnya peraturan daerah (perda) tentang pelestarian bangunan, atau lingkungan cagar budaya. Hal ini dibutuhkan untuk mengantisipasi perkembangan pembangunan di Kota Bogor yang sangat cepat.

Demikian disampaikan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bogor, H. Ade Syarif Hidayat dalam acara work-shop pembinaan dan pelestarian budaya dan sejarah daerah, di Wisma Warung Kondang, Jln. Dr. Semeru, Kel. Menteng, Kec. Bogor Barat, Kota Bogor, Kamis (18/11)."Kalau tidak secepatnya dibuatkan aturan payung hukum untuk melindungi benda benda cagar budaya dikhawatirkan benda-benda cagar budaya yang memiliki nilai sejarah di masa lalu akan punah," kata H. Ade Syarif Hidayat.

Ade mengakui pembangunan di Kota Bogor saat ini mengalami peningkatan dan perubahan yang cepat, sehingga berpengaruh terhadap kelestarian bangunan, situs dan lingkungan cagar budaya. Karena sejauh ini, sambung Ade, upaya pelestarian tinggalan sejarah dan budaya yang telah dilakukan Disbudpar baru sebatas inventarisasi dan pendataaan, pembuatan buku, penelitian, seminar dan pameran serta kegiatan workshop.

Dijelaskan Ade, di Jawa Barat payung hukum pelestarian dan perlindungan benda cagar budaya mengacu kepada Peraturan Daerah (Perda) No. 7/2003, tentang pengelolaan kebudayaan di Jawa Barat. Perlindungan terhadap situs, kawasan dan benda cagar budaya di Kota Bogor semakin kuat dengan adanya keputusan Menteri Kebudayaaan dan Pariwisata RI, No. PM.25/PW.007MKP/2007, tanggal 26 Maret 2007, tentang penetapan situs dan bangunan tinggalan sejarah, di Kota Bogor sebagai benda Cagar Budaya (BCB). "Benda-benda cagar budaya tidak bergerak masih bayak berdiri di Kota Bogor dan bisa dijumpai di wilayah Kec. Bogor Tengah, bangunannya bergaya indis, tinggalan masa kolonial," paparnya. (B-65/das)***

Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=news.detail&id=111085

Kampung Naga - Warisan Budaya Sunda

Kampung Naga - Warisan Budaya Sunda

Penelitian “Kampung Naga, Tasikmalaya Dalam Mitologi: Upaya Memaknai Warisan Budaya Sunda”, membahas masalah kosmologi yang tertuang di dalam mitologi masyarakat Kampung Naga yang tinggal di desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode arkeologi khususnya arkeologi kognitif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kosmologi Sunda yang tertuang dalam mitologi dan penataan ruang Kampung Naga merupakan akulturasi dari ajaran lokal baik yang berasal dari masa prasejarah khususnya tradisi megalitik, Hindu Budha, maupun ajaran Islam. Mitologi itu tersirat dari mitos, ritual (upacara adat), dan seni tradisi. Mitos diperoleh dari cerita lisan tentang asal usul Kampung Naga, serta mitos ruang dan waktu. Ritual digambarkan dalam Upacara Hajat Sasih, Nyepi, Panen, dan upacara lingkaran hidup (life cyrcle) berupa upacara gusaran dan perkawinan. Dalam pada itu, seni tradisi yang masih dapat disaksikan di Kampung Naga adalah terbang gembrung, angklung, serta beluk dan rengkong.
Kampung Naga, Tasikmalaya Dalam Mitologi: Upaya Memaknai Warisan ...

KAMPUNG NAGA, TASIKMALAYA DALAM MITOLOGI:
UPAYA MEMAKNAI WARISAN BUDAYA SUNDA


Kampung Naga (The Dragon Village), Tasikmalaya in Mythology:
Meaningly of the Sundanese Culture Heritage


Oleh:
Etty Saringendyanti


Makalah Hasil Penelitian



FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2008







LEMBAR PENGESAHAN








Judul

: Kampung Naga, Tasikmalaya Dalam Mitologi:
Upaya Memaknai Warisan Budaya Sunda




Oleh

: Etty Saringendyanti, Dra., M.Hum.
NIP. 131573160




Evaluator,






H. Maman Sutirman, Drs., M.Hum.



Dr. Wahya,
M.Hum.
NIP. 131472326




NIP. 131832049






Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Sejarah,






Awaludin Nugraha, Drs., M.Hum.
NIP 132102926



KAMPUNG NAGA, TASIKMALAYA DALAM MITOLOGI:
UPAYA MEMAKNAI WARISAN BUDAYA SUNDA
Kampung Naga (The Dragon Village), Tasikmalaya in Mythology: Meaningly of
the Sundanese Culture Heritage

Etty Saringendyanti1
ABSTRAK
Penelitian “Kampung Naga, Tasikmalaya Dalam Mitologi: Upaya Memaknai
Warisan Budaya Sunda”, membahas masalah kosmologi yang tertuang di dalam
mitologi masyarakat Kampung Naga yang tinggal di desa Neglasari, Kecamatan
Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
arkeologi khususnya arkeologi kognitif. Oleh:

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kosmologi Sunda yang tertuang dalam mitologi
dan penataan ruang Kampung Naga merupakan akulturasi dari ajaran lokal baik yang
berasal dari masa prasejarah khususnya tradisi megalitik, Hindu Budha, maupun
ajaran Islam. Mitologi itu tersirat dari mitos, ritual (upacara adat), dan seni tradisi.
Mitos diperoleh dari cerita lisan tentang asal usul Kampung Naga, serta mitos ruang
dan waktu. Ritual digambarkan dalam Upacara Hajat Sasih, Nyepi, Panen, dan
upacara lingkaran hidup (life cyrcle) berupa upacara gusaran dan perkawinan. Dalam
pada itu, seni tradisi yang masih dapat disaksikan di Kampung Naga adalah terbang
gembrung, angklung, serta beluk dan rengkong.

Kata Kunci: Kampung Naga, Kosmologi, Mitologi


1 Penulis adalah staf pengajar Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Satra Universitas Padjadjaran,
Bandung.
2


ABSTRACT
The research of “Kampung Naga (The Dragon Village), Tasikmalaya in Mythology:
Meaningly of the Sundanese Culture Heritage,” describe about cosmology matter
that involved in the mythology of Kampung Naga society that live at Neglasari
Village, Salawu District, Tasikmalaya Regency. The method that used on this
research is archaeology method, especially cognitive archaeology.
The result of this research obtained that Sundanese cosmology that involved in
mythology and space structuring of Kampung Naga was a shape of acculturation
from local minded which originated from the prehistoric times, especially megalitic
tradition, Hindu, Budha, and even Islam. The mythology implied from myth, ritual,
and tradition art. The Myths is obtained from oral story about the origin of Kampung
Naga; and the myth of spacial and time. The ritual described in Hajat Sasih, Nyepi,
Panen, and life cyrcle that still witnessed is gusaran and wedding ceremonial.
Afterwards, tradition art that still live in Kampung Naga is terbang gembrung,
angklung, beluk and rengkong.

Key Word: Kampung Naga, Cosmology, Mythology:


3


PENDAHULUAN
Warisan budaya bangsa Indonesia, yang tertuang dalam berbagai bentuk baik
berupa artefak (tangible) maupun tradisi (intangible) yang terungkap dalam
masyarakat adat sudah selayaknya diapresiasi oleh peneliti lokal agar lebih mampu
menghayati makna warisan budaya tersebut. Bagaimanapun, warisan budaya
memiliki daya tarik sebagai komoditi wisaya budaya atau heritage tourism.
Pemberian makna kepada berbagai bentuk warisan budaya adalah suatu upaya
pemahaman
terhadap
bagaimana
m
asyarakat
masa
lalu
memandang dan
memperlakukan tradisi leluhur. Dalam teori kebudayaan yang menyatakan bahwa
kebudayaan itu berada di antara warga masyarakat, merupakan pandangan semiotika.
Benda-benda hasil kebudayaan dan acuannya berada di luar interpretan (interpretant)
atau “pembaca”.2 Semiotika dalam arkeologi merupakan salah satu kajian arkeologi
kognitif, yang mengkaji sistem simbol dari suatu masyarakat melalui artefak. Salah
satu warisan budaya Sunda, yang tersimpan dalam pemukiman adat di Tatar Sunda
adalah Kampung Naga di desa Ne
glasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten
Tasikmalaya.
Dari latar belakang sejarahnya, masyarakat adat Kampung Naga mengaku
keturunan dari Eyang Singaparna, pewaris terakhir tahta Kerajaan Galunggung3 yang
beragama Islam. Namun bila dilihat dari tata cara mereka melakukan ritual agama,

2 Masinambau, E.K.M. 2001. ”Teori Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan”, dalam Meretas
Ranah: Bahasa, Semiotika, dan Budaya, Ida Sundari Husen dan Rahayu Hidayat.
Yogyakarta: Bentang Budaya, hlm. 32.
3 Purwitasari, Tiwi. 2006. ”Pemukiman dan Religi Masyarakat Megalitik: Studi Kasus
Masyarakat Kampung Naga, Jawa Barat”, dalam Arkeologi dari Lapangan ke
Permasalahan. Jakarta: IAAI, hlm.176-177.
4





yang lebih sarat dengan kehindu-budhaannya, dan seni tradisi yang masih
berkembang di kampung itu, sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut. Paling sedikit
dalam dua kontribusi penelitian, yaitu :
1. Sebagai referensi bagi peneliti lain dalam menafsirkan sistem simbol, khususnya
pengkajian mitologi pada masyarakat Sunda di wilayah lain;
2. Pengembangan studi arkeologi, terutama agar tidak lagi terpaku pada karya
arkeologi yang bersifat konvensional, melainkan juga kajian-kajian lain yang
cukup menentukan perjalanan budaya bangsa Indonesia.


METODE PENELITIAN
Penelitian ini mengacu pada penelitian arkeologi, khususnya arkeologi
kognitif. Arkeologi merupakan ilmu yang mempelajari masa lampau dengan tujuan
untuk merekonstruksi sejarah kebudayaan, merekonstruksi cara hidup manusia, dan
merekonstruksi proses budaya.4 Sementara arkeologi kognitif adalah cabang disiplin
arkeologi yang berusaha mempelajari dan menggunakan sistem simbol untuk
menangani masalah-masalah arkeologi.5 Untuk mencapai tujuan itu, da
lam
implementasi di lapangan, arkeologi menggunakan berbagai tahapan dimulai dari
observasi, deskripsi dan akhirnya eksplanasi.
Observasi merupakan proses pencarian dan pengumpulan data, baik data
tertulis maupun data lapangan yang berkaitan dengan objek penelitian. Pengumpulan
data tertulis dilakukan pada sejumlah sumber tertulis, baik primer maupun sekunder,

4 Binford, L.R. 1972. An Archaeological Perspective. New York: Seminar Press, hlm 78-89.
5 Dark, K.R. 1995. Theoretical Archaeology. New York: Cornell University Press, hlm. 143.
5



berupa arsip, artikel, dan buku-buku. Data lapangan diperoleh melalui survei di
Kampung Naga, berupa perekaman mitologi dan tata ruang Kampung Naga melalui
pendekatan terhadap masyarakat adat Kampung Naga.
Sumber-sumber yang dikumpulkan itu, diidentifikasi dan diolah melalui
tahapan deskripsi. Dalam kajian arkeologi kognitif penelitian dilakukan melalui pola
penalaran induktif yang menghasilkan gambaran adanya kemungkinan persamaan
antara gejala budaya masa lampau dengan budaya masa kini. Artefak yang bertahan
hingga kini merupakan tanda dari acuan yang berasal dari masa lalu. Hubungan
antara tanda dengan acuannya membentuk tiga sifat, yaitu Natural yang melahirkan
tanda indeks (index); Formal yang melahirkan tanda ikon (icon); Arbitrary yang
melahirkan tanda simbol (symbol).6 Acuan dapat berupa konsep, ni
lai-nilai,
kepercayaan, dan lain-lain yang berkembang dan dikenali di tengah masyarakat
pembuat tanda tersebut. Oleh karena itu, suatu artefak dapat berupa tanda indeks,
ikon, atau simbol, tergantung dari sifat hubungan antara tanda dengan referennya.
Tahapan terakhir yang dilakukan adalah eksplanasi, berwujud rekonstruksi budaya
masyarakat Kampung Naga dari masa ke masa.


HASIL DAN PEMBAHASAN
KAMPUNG NAGA
Kampung Naga terletak di sebuah lembah yang subur. Berada pada ketinggian
+ 1.200 m. dapl., di pinggiran Sungai Ciwulan yang mata airnya bersumber dari

6 Eco, U. 1979. The Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press, hlm. 178.
6



Gunung Cikuray.7 Secara administratif, Kampung Naga termasuk ke dalam wilayah
Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya.
Untuk sampai ke Kampung Naga, perjalanan dapat ditempuh langsung dari
Bandung atau transit di Garut, sejauh lebih kurang 106 km dari Bandung atau sekitar
26 km dari kota Garut, tepat di Kampung Rancak (Salawu). Selain itu, dapat pula
ditempuh melalui rute Tasikmalaya -
Garut, dengan jarak tempuh sekitar 30
km.
hingga ke
Kampung
Rancak
(Salawu) tadi. Di kampung inilah Dinas
Pariwisata
Tasikmalaya
mendiri
kan
gapura selamat datang, lahan p
arkir
wisatawan, dan pusat informasi wisata,
serta sejumlah bangunan tambahan.
Lalu melalui tangga di sisi barat area
ini, pengunjung meneruskan perjalanan
menuju Kampung Naga sejauh sekitar 800 -
900 meter lagi dengan berjalan kaki.
Pertama-tama menuruni jalan kecil yang
berbelok-belok hingga ke tepian Sungai
Ciwulan. Jalan kecil ini merupakan jalanan
semen yang dibuat berundak dengan anak tangga (Sunda: sengked) sebanyak 335
buah anak tangga dengan kemiringan + 450. Kemudian melalui sebuah jembatan dari

7 Maria, Siti. dkk. 1995. Sistem Keyakinan Pada Masyarakat Kampung Naga Dalam
Mengelola Lingkungan Hidup. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, hlm. 11.
7



anyaman bambu menyeberangi sungai dan kembali menyusuri tepian Sungai
Ciwulan hingga ke bagian depan kampung.
Mata pencaharian utama penduduk Kampung
Naga adalah bertani sistem tadah hujan atau irigasi
dari air pegunungan. Lahan pertanian masih diolah
dengan cara dan peralatan tradisional, dicangkul,
diguru, diwaluku, dan lain-lain. Sebagai penyubur,
umumnya digunakan pupuk kandang.
Selain bertani padi, dewasa ini sebagian
besar penduduk juga lebih menekuni produksi
barang handicrafts, terutama karena semakin tingginya arus wisatawan mancanegara
yang
berkunjung
ke
perkampunga
n
mereka. Barang-barang tersebut antara
lain anyaman udang-udangan, tas tangan
dan
barang-barang
kebutuhan
lokal
lainnya, seperti bakul (boboko), kukusan
(aseupan), kipas, tampah (nyiru), dan
lain-lain.
Pola pemukiman Kampung Naga
merupakan pola mengelompok yang disesuaikan dengan keadaan tanah yang ada
dengan sebuah lahan kosong (
lapang) di tengah-tengah kampung. Pola
perkampungan seperti Kampung Naga bisa jadi merupakan prototype dari pola
perkampungan masyarakat Sunda, walaupun di sana sini terjadi perubahan. Adanya
kolam, leuit, pancuran, saung lisung, rumah kuncen, bale, rumah suci, dan
8



sebagainya, menunjukkan ciri-ciri pola perkampungan Sunda. Demikian juga dengan
bentuk rumahnya (Lihat sketsa berikut).

Jika dicermati dengan seksama, masyarakat Kampung Naga membagi
peruntukan lahan ke dalam tiga kawasan, yaitu:
1. Kawasan suci
Kawasan suci adalah sebuah bukit
kecil di sebelah barat pemukiman yang
disebut Bukit Naga serta areal hutan
lindung (leuweung larangan) persis di
tikungan tapal kuda di timur dan barat
Sungai Ciwulan. Sebagaimana hutan
lindung, Bukit Naga juga sebuah hutan,
berupa semak belukar yang ditumbuhi pohon-pohon kecil dan sedang, dan dianggap
hutan tutupan (leuweung tutupan atau leuweung karamat). Dalam hutan di Bukit
Naga inilah ditempatkan tanah pekuburan masyarakat Kampung Naga, termasuk di
dalamnya makam para uyut
9



2. Kawasan bersih
Kawasan
bersih
bisa
diartikan sebagai kawasan bebas
dari
benda-benda
yang
dapat
mengotori kampung. Baik dari
sampah rumah tangga maupun
kotoran hewan, seperti kambing,
sapi atau kerbau, terutama anjing.
Kawasan ini berada dalam areal pagar kandang jaga. Di dalam kawasan bersih, selain
rumah, juga sebagai kawasan tempat berdirinya bumi ageung, masjid, leuit, dan
patemon
3. Kawasan kotor
Dimaksud
kawasan
kotor
adalah
kawasan
yang
peruntukkannya sebagai kawasan
kelengkapan hidup lainnya yang
tidak perlu dibersihkan setiap saat.
Kawasan ini permukaan tanahnya
lebih
rendah
dari
kawasan
pemukiman, terletak bersebelahan dengan Sungai Ciwulan. Di dalam kawasan ini
antara lain terdapat pancuran dan sarana MCK, kandang ternak, saung lisung, dan
kolam.



10



MITOS, RITUAL, DAN SENI TRADISI
Sebagai masyarakat yang hidup dalam alam dan kultur Sunda, masyarakat
Sunda memiliki pandangan kosmologis8 yang diwariskan oleh leluhurnya. Secara
kultural pandangan kosmologi itu tergambar dalam khazanah mitologisnya. Dalam
sebuah mitologi9 terdapat suatu pola dasar yang mempersatukan secara harmoni
realitas-realitas dan pernyataan-pernyataan yang saling bertentangan. Eliade
menyebut pola ini sebagai coincidentia oppositorum.10 Sebuah mitos11 akan
mengungkapkan struktur keilahian yang dapat mengatasi dan me
ndamaikan
pertentangan secara lebih mendalam dari yang bisa diungkapkan oleh pengalaman
rasional. Misalnya, bagaimana dunia yang kosong menjadi berpenghuni, bagaimana
situasi yang kacau menjadi teratur, bagaimana yang tidak dapat mati menjadi mati,
bagaimana manusia yang semula hanya sepasang menjadi beraneka suku bangsa,
bagaimana mahkluk-mahkluk tak berkelamin menjadi lelaki dan perempuan, dan
sebagainya. Mitos tidak hanya menceritakan asal mula dunia, binatang, tumbuhan,
dan manusia, melainkan juga kejadian-kejadian awal yang menyebabkan manusia
menemukan jati dirinya. Melalui penghayatan sebuah mitos yang dituangkan lewat
upacara ritual, seseorang bisa meniru bagaimana mencapai yang illahi dengan

8 Pandangan kosmologis merupakan upaya pemetaan dan memposisikan diri seseorang atau
masyarakat dalam lingkup ruang-waktu yang mengitarinya (Ahmad Gibson Al Bustomi
dalam http://g13b.blogdetik.com, diakses 20 Mei 2008).
9 Kata mythology dalam bahasa Inggris menunjuk pengertian, baik sebagai studi atas mitos
atau isi mitos, maupun bagian tertentu dari sebuah mitos.
10 Eliade, M. 1987. Mitos, Menurut Pemikiran Mircea Eliade.Yogyakarta: Kanisius, hlm. 73.
11 Kata mitos berasal dari bahasa Yunani muthos, yang secara harfiah diartikan sebagai
cerita. B. Malinowski membedakan pengertian mitos dari legenda dan dongeng. Legenda
lebih sebagai cerita yang diyakini seolah-olah merupakan kenyataan sejarah. Dongeng
mengisahkan peristiwa-peristiwa ajaib tanpa dikaitkan dengan ritus, dan tidak diyakini
sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi. Sementara mitos merupakan pernyataan
atas suatu kebenaran tentang realitas asal yang masih dimengerti sebagai pola dan fondasi
dari kehidupan primitif (Dhavamony, 1995: 147).
11





berpartisipasi secara simbolis dalam keadaan ketika manusia dicipta dan ditata oleh
yang illahi dan adikodrati.12
Pada umumnya tingkah laku manusia dapat diamati melalui ritual dan mitos.
Ritual merupakan rangsangan bagi lahirnya mitos. Dari mitos kemudian muncul
agama, dan agama itu terdiri dari pelaksanaan ritual. Ketika ritual dapat dinilai
dengan begitu mudah dari hasil-hasil yang tampak, memang tidak diperlukan mitos.
Namun ketika hasil yang dibayangkan dari ritual tidak begitu jelas terlihat sehingga
bila keyakinan terhadap efektivitas ini harus dipertahankan, maka dituntut suatu tipe
keyakinan yang lebih kompleks yang hanya dapat disimpulkan melalui mitos. Secara
keseluruhan fungsi mitos adalah mengungkapkan, mengangkat dan merumuskan
kepercayaan, melindungi dan memperkuat moralitas, menjamin efisiensi ritus, serta
memberi peraturan-peraturan praktis untuk menuntun manusia. Mitos dan agama
sebagai satu kesatuan memainkan peranan penting dalam kehidupan sosial.13
A.Mitos
Belum banyak mitos-mitos yang dapat digali dari masyarakat Kampung Naga,
karena banyaknya pertabuan yang harus ditaati mereka. Salah satu mitos yang dapat
diungkapkan sebagaimana disajikan dalam wacana berikut:.
A.1 Mitos asal usul kampung naga
Menurut Suharjo,14 penduduk asli Kampung Naga memang orang Sunda yang
dulunya sangat sederhana. Tinggal di atas pohon-pohon besar di lereng-lereng
Gunung Galunggung. Nenek moyang mereka yang kini dimakamkan di bukit sebelah

12 Dhavamony, M. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius. 1995, hlm. 149-150.
13 Ibid, hlm. 150-152.
14 Saat ini Suharjo menjabat sebagai Ketua RT Kampung Naga.
12



Barat kampung bernama Sembah Dalem Singaparna. Dinamakan Singaparna karena
ia dapat menaklukkan singa yang sedang mengamuk dengan kesaktiannya.
Singaparna dikenal sebagai seorang ulama sakti, putra dari Prabu
Rajadipuntang, Raja Galunggung terakhir yang menyingkir ke Linggawangi. Ketika
itu, Kerajaan Galunggung diserang oleh Kerajaan Sunda di bawah kekuasaan Prabu
Surawisesa (1535-1543) karena mereka telah menjadi pemeluk agama Islam,
sehingga tidak lagi menjadikan Kerajaan Sunda sebagai pusat. Menghadapi serangan
itu, Prabu Rajadipuntang menyelamatkan harta pusaka dan menyerahkannya pada
anak bungsunya yang bernama Singaparana. Untuk melaksanakan tugas itu
Singaparana dibekali ilmu yang membuat dirinya bisa nyumput bumi dina caang
(bersembunyi di keramaian).15 Eyang Singaparna memiliki enam putra yang
kesemuanya diwarisi ilmu linuwih dan meninggal di daerah tempa
t mereka
mengamalkan ilmunya.
A.2 Mitos Ruang dan Waktu
Mitos ruang diwujudkan dalam kepercayaan bahwa ruang atau tempat-tempat
yang memiliki batas-batas tertentu dikuasai oleh makhluk halus, sehingga dianggap
angker (sanget) dan patut diberi sesaji (sesajen) agar penunggu tempat-tempat itu
tidak mengganggu mereka. Batas disini bisa ditemukan pada kategori yang berbeda,
misalnya sungai, pekarangan rumah bagian depan dengan jalan, pesawahan dengan
selokan, tempat air masuk yang sering disebut dengan huluwotan, dan lereng bukit.16
Selain itu, mayarakat Kampung Naga memiliki mitos waktu. Waktu-waktu
yang disebut palintangan, adalah waktu yang dianggap buruk sehingga tabu untuk

15 http://g13b.blogdetik.com, diakses 20 Mei 2008.
16 http://hantu-hantu.com/tempat-angker-di-indonesia, diakses tanggal 10 September 2008
13



melaksanakan suatu ritual, atau pekerjaan-pekerjaan yang amat penting seperti
bertani, dan melakukan perjalanan. Pertabuan itu didasari oleh perhitungan dawuh.
B. RITUAL
B.1 Upacara Hajat Sasih
Upacara hajat sasih dilaksanakan enam kali dalam setahun, atau masing-
masing satu kali dalam enam bulan yang diagungkan dalam agama Islam. Upacara
ini merupakan upacara penghormatan terhadap arwah nenek moyang, yang
dilaksanakan dalam satu hari tanpa menghentikan jalannya upacara apabila turun
hujan, karena hujan dianggap karunia. Setiap bulan pelaksanaan disediakan masing-
masing tiga tanggal untuk menjaga kemungkinan tanggal yang telah ditentukan
bertepatan dengan upacara lainnya, terutama upacara nyepi.
Upacara dimulai pada pukul 09.00 - 16.00 dipimpin oleh kuncen, lebe dan
tetua kampung. Dimulai dengan pembacaan doa bersama, serta bebersih dan ziarah
ke makam keramat sebagai inti upacara yang hanya diikuti oleh kaum laki-laki saja.
Seluruh peserta upacara mengenakan jubah berwarna putih dari kain belacu atau
kaci, sarung pelekat, ikat kepala dari batik (totopong), dan ikat pinggang (beubeulit)
dari kain berwarna putih pula. Pakaian upacara ini tidak dipadu dengan perhiasan
apapun ataupun alas kaki.
B.2 Upacara Nyepi
Upacara nyepi jatuh pada setiap hari Selasa, Rabu, dan Sabtu. Penghormatan
masyarakat Kampung Naga terhadap upacara ini sangat tinggi dan dapat menggeser
pelaksanaan upacara lainnya. Sebutan upacara nyepi bagi masyarakat Kampung
Naga tidak mencerminkan suasana sunyi senyap dan berhenti dari segala kegiatan
14



sehari-hari serta dilaksanakan oleh seluruh anggota masyarakat, anak-anak, tua dan
muda. Jika dilihat dari inti kegiatan, sebenarnya upacara ini mungkin lebih tepat
disebut berpantang, pantang dalam artian benar-benar menghindari perbincangaan
mengenai adat istiadat serta asal usul masyarakat Kampung Naga, baik antar sesama
anggota masyarakat maupun pengunjung atau tamu asing lainnya.
B.3 Upacara Panen
Upacara panen merupakan upacara perorangan, artinya jika sebuah keluarga
akan memanen hasil sawahnya, maka keluarga tersebut melakukan upacara panen
guna menetapkan kapan hari pemanenan bisa dilaksanakan. Pencarian hari panen
dilakukan di rumah keluarga yang akan memanen hasil sawahnya, dibawah pimpinan
candoli, atau lebih sering oleh kuncen Kampung Naga dibantu oleh lebe dan tetua
kampung. Ditentukan melalui rangkaian penghitungan yang disebut palintangan.
Setelah pihak keluarga mendapatkan hari baiknya, maka acara panen di sawah
dilaksanakan, dan kemudian ditutup dengan upacara syukuran kepada Nyi Pohaci
Sang Hyang Asri
Pada hari panen keluarga yang akan memanen harus menyiapkan syarat-syarat
antara lain, sawen, pucuk tanjeur, pucuk gantung (pupuhunan), empos, nasi tumpeng,
dan sesajen pelengkap lainnya. Syarat-syarat ini di gunakan dalam pr
osesi
pengambilan ibu padi.
B.4 Upacara Lingkaran hidup (life cycle)
Dalam masyarakat kita, setiap anak yang akan memasuki satu tahapan baru
dalam kehidupannya umumnya melewati pranata sosial atau dalam sebutan lain
upacara adat. Demikian pula dengan masyarakat Kampung Naga. Ada dua upacara
15



adat yang bertautan tahapan kehidupan yang hingga kini masih ditaati dan dijalankan
dari generasi ke generasi. Kedua upacara itu sebagai berikut:
B.4.1 Upacara Gusaran
Uacara Gusaran atau khitanan pada masyarakat Kampung Naga dilakukan
secara massal, artinya setiap anak laki-laki Sa Naga akan disunat dalam waktu yang
telah ditentukan, yaitu pada bulan Rayagung. Prosesi upacara terdiri dari tiga inti
rangkaian kegiatan, yaitu gusaran, lekasan, dan wawarian. Namun demikian, jika
dicermati, sebenarnya ada sejumlah upacara yang dirangkai menjadi pendahulu
upacara gusaran itu sendiri. Rangkaian upacara tersebut (lekasan) melebur dalam
upacara gusaran secara keseluruhan dan tidak kalah penting serta menarik untuk
disimak, yaitu mendapatkan pasangan, bebersih, pemberian wejangan, diarak keliling
kampung, ngala beas, pemotongan rambut, berebut sawer, khitanan dan wawarian
B.4.2 Upacara Perkawinan
Secara umum tradisi perkawinan masyarakat Kampung Naga sama dengan
tradisi perkawinan menurut adat Sunda. Namun demikian, dalam pelaksanaannya
masih dilengkapi dengan tradisi perkawinan Kampung Naga.
Sebelum akad nikah, calon pasangan pengantin terlebih dahulu harus
memenuhi beberapa persyaratan administrasi. Akad nikah dilakukan melalui ijab-
kabul yang disebut dirapalan. Karena masyarakat Kampung Naga beragama Islam,
perkawinan dilakukan di depan penghulu dan dicatat di Kantor Urusan Agama
(KUA) setempat oleh petugas pencatat nikah (PPN). Penyelenggaraan upacara
perkawinan di Kampung Naga terkesan sederhana. Selain karena pertimbangan
16



ekonomi, lahan tempat penyelenggaraan juga terbatas sehingga undangan hanya
berkisar pada keluarga mempelai.
Sebelum melaksanakan upacara perkawinan, persiapan berupa tahapan yang
tidak boleh dilewatkan menurut adat adalah, yaitu menentukan hari baik, melakukan
upacara seserahan, melakukan upacara ngeuyeuk seureuh dan, upacara perkawinan
C. SENI TRADISI17
C.1 Terbang gembrung
Masuknya terbangan atau terbang gembrung sebagai seni tradisi Kampung
Naga diduga berkaitan erat dengan penyebaran Islam di Tanah Sunda. Terbang
gembrung hampir mirip dengan tagonian yang banyak dijumpai di daerah-daerah
pusat penyebaran Islam. Bedanya, bentuk dan ukuran terbang gembrung di Kampung
Naga lebih besar dan irama pukulannya lebih sederhana.
Terbang Gembrung adalah alat musik tradisional yang disajikan dalam bentuk
nyanyi. Bentuknya agak berbeda dengan terbangan yang biasa dilihat di luar
Kampung Naga. Terbangan di Kampung Naga berjumlah empat, tidak ceper atau
tipis, tapi agak bulat hampir menyerupai dogdog. Terbang kesatu (tingting)
berukuran lebih kecil dari terbang kedua (kemprang), terbang kedua lebih kecil dari
terbang ketiga (bangpak), dan terbang ketiga lebih kecil dari terbang keempat
(brungbrung). Terbang kedua dan ketiga bi
asanya disatukan dengan kayu
penyambung sehingga dapat dimainkan oleh seorang pemain.

17 Pemerian alat dan seni tradisi diambil dari Suhandi Shm., 1982. Penelitian Masyarakat
Kampung Naga di Tasikmalaya. Bandung: Universitas Padjadjaran, hlm.64-66; Suganda,
2006: 101-103; dan wawancara penulis pada tanggal 10 Juni 2008.

17



Terbang gembrung biasanya dimainkan oleh kaum laki-laki. Para pemain
duduk berjejer sesuai ukuran terbang yang akan dimainkan. Lagu-lagu yang
dibawakan menggunakan bahasa Arab berupa pupujian yang mengagungkan
kebesaran Tuhan dan salawat kepada Nabi Muhammad SAW.. Nyanyian yang
diambil dari kitab suci Al-Qur’an itu, dibawakan bersama-sama dengan iringan
pukulan atau bunyi terbang. Pertunjukan terbangan diadakan di dalam ruang Masjid,
atau di lapangan terbuka Kampung Naga. Pertunjukkan biasanya dimulai setelah
sholat Isya dan berakhir sekitar pukul 24.00. Selain itu, te
rbangan juga
dipertunjukkan pada perayaan 17 Agustus untuk mengiringi jempana18 bersama-
sama dengan angklung.
C.2 Angklung
Bentuk angklungdi Kampung Naga tidak jauh berbeda dengan ben
tuk
angklung di luar Kampung Naga. Bedanya hanya dalam ukuran. Angklung Kampung
Naga berukuran lebih besar, terbuat dari beberapa ruas bambu.
Seperangkat angklung Kampung Naga terdiri dari empat angklung dengan
ukuran berbeda dari yang paling kecil sampai ke angklung yang paling besar. Cara
memainkannya dengan menggoyang-goyangkan instrumen bambu tersebut, dan
setiap unit angklung memiliki nada suara berbeda.
Dalam fungsinya sebagai alat hiburan, angklung digunakan untuk mengiringi
jempana pada perayaan 17 Agustus, dan mengiringi peserta upacara gusaran.
Sebagai tradisi menghormati Nyi Pohaci, angklung dibunyikan untuk mengiringi
hasil panen (padi) dari sawah ke kampung. Biasanya angklung dimainkan oleh laki-

18 Jempana adalah tempat menyimpan hasil pertanian atau kerajinan yang terbuat dari
potongan bambu berbentuk menyerupai trapesium.
18



laki, meskipun secara adat wanita pun boleh memainkan alat ini. Namun karena
bentuknya besar sehingga berat, laki dianggap lebih mampu memainkannya.
C.3 Beluk dan Rengkong
Beluk dan Rengkong merupakan dua jenis kesenian yang sudah jarang
dijumpai. Seni Beluk merupakan salah satu tembang Sunda yang banyak
menggunakan nada-nada tinggi. Pemainnya terdiri dari empat orang atau lebih, yang
secara bergiliran menyanyikan syair dari wawacan.19 Seni beluk biasanya digelar
pada malam sebelum berangkat tidur bertempat di rumah tetangga atau keluarga
yang baru melahirkan. Di bawah temaramnya sinar lampu teplok, beluk dinyanyikan
di ruang depan (tepas imah). Pemain atau pendengar duduk santai mengikuti acara
itu. Lagu-lagu
yang ditembangkan
berasal dari pupuh
seperti kinanti,
20
asmarandana,21 sinom,22 durma,23 dan sebagainya yang disampaikan dengan
membawakan kisah-kisah yang sumbernya diambil dari wawacan.
Dalam hal pemain tidak bisa membaca, juru ilo membantu pemain itu dengan
membacakan satu pupuh hingga selesai, baru kemudian ditembangkan. Sebagai
contoh adalah pupuh kinanti berikut, yang diajarkan di SR (sekarang SD), dan sangat
populer di era tahun 1950-1960an. Pupuh ini mengisahkan seekor kelelawar yang

19 Wawacan adalah cerita yang biasanya ditulis dalam huruf Arab berbahasa Sunda.
Temanya diambil dari kisah-kisah kepahlawanan Baginda Ali dalam menyebarkan agama
Islam.
20 Pupuh Kinanti menggambarkan perasaan seseorang yang sedang menanti orang tercinta.
21 Pupuh Asmarandana menggambarkan perasaan orang yang sedang kasmaran.
22 Pupuh Sinom menggambarkan perasaan orang yang sedang diruntung kesedihan, sehingga
ungkapan katanya penuh nasihat.
23 Pupuh Durma menggambarkan hati seseorang yang sedang menghadapi lawan di medang
perang.
19



diibaratkan anak kecil. Setiap malam kelelawar ini melayang-layang mencari buah-
buahan yang sudah matang, atau apa saja yang berhasil ditemukannya
Budak leutik bisa ngap(u)ng
Babakuna unggal peut(i)ng
Kalayang kakalayang(an)
Neangan nu amis-am(i)s
Sarupaning bubuah(a)n
Naon wae nu kapangg(i)h.
KOSMOLOGI DAN WARISAN BUDAYA SUNDA
A. Kosmologi
Mircea Eliade24 mengatakan bahwa manusia religius memiliki sikap tertentu
terhadap kehidupan, dunia, manusia, dan apa yang dianggapnya suci (sakral). Dunia
baginya terbatas pada wilayah yang sudah dikenal, sebagai kosmos, suatu wilayah
yang sudah “dikonsentrasikan”. Sementara di luar wilayah itu, adalah dunia yang
kacau (chaos) sebagai tempat tinggal para roh, jin, setan, dan sejenisnya. Daerah itu
bisa teratur kembali jika dilakukan penciptaan kembali kosmogoni (semesta alam)
oleh para dewa atau kekuatan supranatural melalui upacara. Pada prinsipnya semesta
alam terdiri dari tiga lapisan, yaitu dunia atas merupakan dunia illahi, surga, tempat
para dewa, dan para leluhur; dunia tengah merupakan dunia yang dihuni oleh
makhluk hidup yaitu manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan; dan dunia bawah
merupakan tempat dimana makhluk hidup itu mati. Ketiga lapisan ini dihubungkan
oleh satu poros yang disebut axis mundi. Axis mundi ini terletak pada pusat dunia
yang menghubungkan satu lapisan dengan lapisan yang lain. Melalui axis mundi

24 Dalam buku berjudul The Sacred and the Profan. 1959. New York: Harcourt, Brace &
World Inc.
20





manusia dapat berhubungan dengan dunia atas dan dunia bawah.25 Pandangan
kosmologi di berbagai belahan dunia, memiliki konsep tersendiri walaupun pada
prinsipnya tidak jauh berbeda dengan pembagian wilayah tersebut.
Gambaran
kosmologi
yang
bersum
ber
pada
agama
Hindu
India,
mengungkapkan bahwa alam semesta terdiri dari sebuah benua berbentuk lingkaran,
disebut Jambudwipa, yang merupakan tempat tinggal manusia dan berbagai hewan
lainnya. Jambudwipa ini dikelilingi oleh tujuh rangkaian samudra dan tujuh
rangkaian pegunungan secara berselang-seling. Lingkaran alam semesta itu berpusat
pada Gunung Mahameru (Meru), gunung kosmis yang diedari oleh matahari, bulan,
dan bintang-bintang. Di puncak Gunung Mahameru terletak kota tempat tinggal para
dewa. Sementara di kedelapan arah Gunung Mahameru dijaga oleh dewa-dewa Asta-
dikpalaka.
Menurut Budhisme pun gambaran alam semesta hampir sama dengan uraian
kosmos pada Hinduisme. Gunung Mahameru menjadi pusat dari alam semesta.
Perbedaannya adalah di luar rantai pegunungan ketujuh terdapat samudra; dan di
keempat arah mata anginnya terdapat empat benua. Benua yang terletak di selatan
adalah Jambudwipa, tempat tinggal manusia dan berbagai makhluk hidup lainnya.
Sementara di ketiga benua lainnya hidup berbagai makhluk ajaib. Alam semesta itu
dikelilingi pula oleh barisan cakrawala. Pada lereng Gunung Mahameru terletak
surga terendah, tempat tinggal keempat Raja besar sebagai penjaga dunia.26

25 Susanto, P.S. Hary. 1987. Mitos, Menurut Pemikiran Mircea Eliade.Yogyakarta: Kanisius,
hlm. 44-49.

26 Geldern, Robert Heine. 1982. Konsepsi Tentang Negara & Kedudukan Raja di Asia
Tenggara. Jakarta: CV Rajawali, hlm. 4-5.
21



Dalam Kropak 422,27 sebuah kisah mitologis yang menggambarkan kosmologi
Sunda abad ke 14 – 15 M, dikisahkan bahwa alam raya terbagi ke dalam tiga dunia,
yaitu sakala (dunia nyata), niskala (dunia gaib), dan jatiniskala (kemahagaiban
sejati). Penghuni sakala adalah berbagai makhluk yang bisa dilihat dan diraba seperti
manusia, hewan, tumbuhan, dan lain-lain. Penghuni niskala adalah berbagai makhluk
yang tidak berjasad, berupa anasir-anasir halus seperti dewa-dewi, bidadara-bidadari,
apsara-apsari, roh-roh netral yang disebut syanu, bayu, sabda, dan hedap. Di antara
mereka ada yang telah dikenal dengan nama-nama serta tugasnya masing-masing di
alam gaib itu, baik di alam kesurgaan maupun di neraka. Jumlah mereka banyak dan
bisa bergabung antara satu dengan yang lainnya. Apabila roh netral bergabung
dengan bayu, sabda, dan hedap, gabungan itu adalah sukma yang disebut syaku.
Sukma yang terbuang ke sakala akan bergabung dengan anasir-anasir fisikal
sehingga di antara mereka ada yang menjelma menjadi manusia, hewan, atau
tumbuhan. Dalam kondisi demikian, sukma itu terpenjara oleh jasad. Penjelmaan
yang paling sempurna adalah manusia. Oleh karena itu, manusia diwajibkan untuk
berusaha berbuat kebaikan agar kelak sukma bisa kembali ke kodrat sejati di
kahyangan (Sorga tertinggi) yang disebut mencapai moksa. Sementara manusia yang
terlalu terbawa nafsu angkara murka, akan menjadi raksasa yang serakah, tamak, dan
rakus terhadap hal-hal lain. Sukma mereka hanya bisa kembali ke alam niskala
sebagai penghuni Kawah (neraka). Meskipun menurut aturan para dewa, mereka bisa
mendapat keringanan, namun sukma itu harus mengalami reinkarnasi ke alam sakala.

27 Kropak 422 berada di bagian naskah Perpustakaan Nasional, Jakarta. Sebelumnya naskah
ini merupakan pemberian Bupati Galuh R.A.A. Kusumadiningrat pada perempatan ketiga
abad ke-19. Pada mulanya naskah itu disimpan di Kawali (Ciamis). Ditulis dalam aksara
dan bahasa Sunda Kuna (Darsa, dan Edi S. Ekadjati, 2006: 15).
22



Penghuni jatiniskala adalah dzat Yang Maha Tunggal yang dinamakan Sang Hyang
Manon. Dzat Maha Pencipta yang disebut sebagai Si Ijunajati Nistemen, pencipta
batas tetapi tidak terkena batas.28
Pandangan serupa juga diperoleh dari naskah Serat Catur Bumi dan Sang
Hyang Raga Dewata,29 Sewaka Darma,30 Kawih Paningkes dan Jatiniskala, 31serta
Sri Ajnyana.32
Dalam penataan ruang, Kampung Naga dibagi atas tiga kawasan yaitu kawasan
suci, kawasan bersih, dam kawasan kotor. Termasuk kawasan suci adalah sebuah
bukit kecil yang disebut Bukit Naga, hutan tutupan (leuweung karamat) di sebelah
barat perkampungan, dan hutan lindung (leuweung larangan) di sebelah timur Sungai
Ciwulan. Di bukit dan hutan tutupan (leuweung karamat) inilah ditempatkan tanah
pekuburan masyarakat Kampung Naga, termasuk di dalamnya makam para uyut.
Wilayah ini hanya boleh dikunjungi oleh laki-laki Kampung Naga pada saat upacara
Hajat Sasih. Dalam pada itu, hutan lindung (leuweung larangan) merupakan tempat
para roh halus (dedemit) yang dipindahkan oleh Sembah Dalem Singaparana dari
wilayah yang akan ditempatinya, yang kini menjadi lahan pemukiman masyarakat
Kampung Naga. Rumah pertama yang didirikan dan menjadi tempat tinggal
Singaparna adalah rumah yang sekarang disebut bumi ageung. Wilayah ini

28 Darsa, dan Edi S. Ekadjati. 2006. Kosmologi Sunda. Bandung: PT Kiblat Buku Utama,
hlm. 24-26.
29 Ekadjati, Edi S., dkk.. 2000. Serat Catur Bumi dan Sang Hyang Raga Dewata. Edisi dan
Terjemahan Teks serta Deskripsi Naskah. Bandung: The Toyota Foundation dan Fakultas
Sastra Uiversitas Padjadjaran.
30 Danasasmita, Saleh, dkk. 1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesia,
Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Sundanologi.
31 Ayatrohaedi, dkk. 1987. Kawih Paningkes dan Jatiniskala: Alih Aksara dan Terjemahan.
Bandung: Sundanologi.
32 Noorduyn, J., dan A. Teeuw. 2006. Three Old Sundanese Poems. Leiden: KITLV Press.
23



merupakan tempat yang sangat dilarang untuk dijamah oleh siapa pun, baik turis
maupun warga Kampung Naga.33
Kawasan bersih adalah kawasan yang berada dalam areal pagar kandang jaga
yang menjadi pemukiman masyarakat Kampung Naga. Kawasan ini merupakan
kawasan bebas dari benda-benda yang dapat mengotori kampung. Di dalam kawasan
ini selain sebagai tempat mendirikan rumah tinggal --termasuk di dalamnya rumah
kuncen dan rumah ketua RT-- juga sebagai kawasan tempat berdirinya bumi ageung,
masjid, leuit, dan patemon
Kawasan kotor adalah areal atau kawasan yang peruntukkannya sebagai
kawasan kelengkapan hidup lainnya, tidak perlu dibersihkan setiap saat. Wilayah ini
merupakan wilayah yang permukaan tanahnya lebih rendah dari pemukiman, terletak
bersebelahan dengan Sungai Ciwulan. Di dalam kawasan ini antara lain terdapat
pancuran dan sarana MCK, kandang ternak, saung lisung, dan kolam
Secara kosmologis, ketiga wilayah itu merupakan gambaran kosmos Kampung
Naga. Negoisasi antara ajaran lokal (Prasejarah yaitu tradisi megalitik dalam hal
pengagungan kepada arwah Nenek Moyang, Hindu dan Budha), dan ajaran Islam
tampak dalam penataan ruang Kampung Naga. Penataan ruang berdasarkan arah
mata angin dan gunung suci (Gunung Mahameru) digambarkan sebagai berikut: di
sebelah barat merupakan perbukitan Naga dan hutan tutupan (leuweung karamat)
yang merupakan tempat keluarga dan nenek moyang mereka dimakamkan,
perkampungan tempat mereka hidup dan bercocok tanam di tengah-tengah, dan
Leuweung Larangan (tempat para dedemit) di sebelah timur. Posisi perkampungan

33 Wawancara dengan Bapak Ridho (70 tahun), warga Kampung Naga, pada tanggal 31
Oktober 2008.
24



tidak secara langsung berhubungan dengan kedua hutan tersebut. Leuweung
Larangan dibatasi oleh Sungai Ciwulan, sedangkan Leuweung Keramat dibatasi oleh
masjid, ruang pertemuan dan Bumi Ageung.
Jika dikaitkan dengan pandangan kosmologi, baik Hindu, Budha, atau
kosmologi yang tergambarkan dalam naskah Sunda terlihat perpaduan di antara itu.
Mereka membangun struktur ruang atas-tengah-bawah, atau baik-netral-buruk.
Lueweung Larangan di arah timur dan leweung Karamat di arah barat adalah sumber
kekuatan sakral kehidupan keseharian mereka. Leuweung larangan sebagai wilayah
chaos, merupakan tempat roh jahat (dedemit), dan leweung karamat merupakan
sumber kebaikan. Masjid dan harta pusaka menjadi penghubung untuk mengalirkan
kesakralan ke arah barat.
Negosiasi antara ajaran Islam dan ajaran lokal, terlihat pada penempatan hutan
keramat dan Bumi Ageung yang berada di bagian barat masjid. Arah barat pada masa
sebelum Islam ada, merupakan akhir perjalanan matahari yang merupakan simbol
akhir perjalanan manusia yaitu mati atau kembali kepada yang kuasa. Ketika ajaran
Islam merebak ke wilayah itu, masyarakat di Kampung Naga percaya bahwa kiblat
adalah simbol Ka’bah,. sehingga menghadap ke kiblat berarti terlebih dahulu harus
melalui penghadapan terhadap harta pusaka di bumi ageung dan hutan keramat.
Keinginan mendapatkan kesakralan Ka’bah didahului oleh penghubungan diri
terhadap nenek moyang yang dimakamkan di Leuweung Keramat. Pandangan ini
mungkin menjadi dasar penolakan mereka terhadap warganya yang telah berhaji.
Berhaji berarti berziarah secara langsung ke makam Nabi yang dianggap suci. Oleh
karena itu, mereka tidak membutuhkan kiblat yang dibungkus oleh Bumi Ageung
dan Leuweung Keramat.
25



Dengan demikian, axis mundi dapat dilihat pada komposisi bahwa seluruh
rumah berpusat pada Bumi Ageung dan Bumi Ageung berhubungan atau berpusat
pada Leuweung Keramat, tempat nenek moyang atau makam para Karuhun.
Pandangan kosmologis yang menempatkan manusia dalam himpitan antara yang
sakral (Leuweung Keramat) dan yang chaos (Leuweung Larangan). Kondisi itu
mengharuskan manusia untuk teliti dan hati-hati dalam menjalani kehidupan, karena
kedua dunia yang menghimpit itu telah memengaruhi waktu kehidupan manusia,
yaitu waktu baik dan waktu tidak baik. Dalam segala aktivitas, baik dalam mencari
keselamatan, kemakmuran, dan penghindaran dari malapetaka, mereka berpatokan
pada tiga kata, yaitu Bismillah, berhubungan dengan awal dan asal (dunia atas),
Alhamdulillah, berhubungan dengan harapan hidup manusia yang baik (dunia
tengah), dan Astaghfirullah, berhubungan dengan dunia yang tidak baik.34
Gambaran kosmologi juga dapat dilihat pada bentuk rumah masyarakat
Kampung Naga. Rumah (imah) atau
lebih dihaluskan bumi merupakan
bagian dari rangkaian kosmogoni
sebagaimana kandungan arti bumi
sebenarnya. Dengan sandaran itu
maka
imah
atau
bumi
bagi
masyarakat
Kampung
Naga
merupakan bangunan yang sudah memiliki aturan-aturan pembuatan dan penataan
yang diselaraskan dengan prinsip-prinsip kembali ke alam. Pembagian wilayah dunia

34 Lihat juga, Ahmad Gibson AlBustom, ”Islam-Sunda Bersahaja di Kampung Naga”, dalam
http://g13b.blogdetik.com, Posted on April 14th, 2006, diakses tanggal 7 November 2008.
26



atas, dunia tengah, dan dunia bawah terdapat pada penataan ruang sebagaimana
tertera pada bab sebelumnya.
B. Warisan Budaya Sunda
Secara umum, warisan budaya adalah tinggalan yang sebenarnya tidak dapat
dilepaskan dari kata pelestarian budaya, sehingga proses pelestarian adalah sesuatu
yang berupa warisan. Secara lebih spesifik, warisan budaya merupakan pusaka
Indonesia yang mencakup pusaka alam dan budaya yang membentuk kesatuan
pusaka yang beraneka ragam, yang merupakan bentukan alam dan hasil cipta, rasa,
karsa, dan karya lebih dari 500 suku bangsa di Tanah Air Indonesia, baik secara
sendiri-sendiri, perpaduan dengan budaya lain, dan sebagai kesatuan bangsa
Indonesia di sepanjang sejarah keberadaannya.35
Dalam pengertian Sumber Daya Arkeologi atau benda warisan budaya menurut
UU No 5 Th 1992, sebagai berikut:
a. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau
kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-
kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa sekurang-kurangnya 50 tahun, serta
dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetah
uan, dan
kebudayaan.
b. benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting sebagaimana butir a.
Disamping memiliki nilai penting sebagaimana disebutkan dalam UU No 5 Th
1992, Sumber daya arkeologi juga memiliki nilai penting etnik dan publik.

35 Draf Piagam Pelestarian Pusaka Saujana Indonesia alinea kedua, dalam Naniek Widayati,
2003, Kongres Kebudayaan Indonesia ke V, Bukittinggi, 19-23 Oktober, hlm. 3.
27



Kampung Naga sebagai salah satu Sumber Daya Arkeologi memiliki nilai
penting kebudayaan, etnik, dan publik. Dengan demikian, jika ingin mengambil
manfaat dari sumber daya itu, Kampung Naga harus dipelajari melalui penelitian
budaya sehingga bisa memahami manfaat yang diperoleh. Untuk kemudian
menerjemahkan pengetahuan itu untuk masyarakat, sehingga dari masyarakatlah
proses ini berawal dan kepada mereka jugalah semua itu harus diserahkan.
28


DAFTAR SUMBER
Ayatrohaedi, dkk. 1987. Kawih Paningkes dan Jatiniskala: Alih Aksara dan
Terjemahan. Bandung: Sundanologi.
Binford, Lewis R. 1972. An Archaeological Perspective. New York: Seminar Press..
Kluckhohn, Clyde. 1942. “Myths and Ritual: A General Theory”, dalam Harvard
Theological Review, XXXV, hlm.78-79.
Danasasmita, Saleh, dkk. 1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesia,
Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Sundanologi.
Dark, K.R. 1995. Theoretical Archaeology. Ithaca, New York: Cornell University
Press, hlm. 143.
Darsa, Undang A. Dan Edi S. Eka
djati. 2006. Gambaran Kosmologi Sunda.
Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama, edisi ke 10. Yogyakarta:
Kanisius
Ekadjati, Edi S., dkk.. 2000. Serat Catur Bumi dan Sang Hyang Raga Dewata. Edisi
dan Terjemahan Teks serta Deskripsi Naskah. Bandung: The Toyota
Foundation dan Fakultas Sastra Uiversitas Padjadjaran.
Eliade, Mircea.The Sacred and the Profan. 1959. New York: Harcourt, Brace &
World Inc.
Geldern, Robert Heine. 1982. Konsepsi Tentang Negara & Kedudukan Raja di Asia
Tenggara. Jakarta: CV Rajawali.
Maria, Siti. dkk. 1995. Sistem Keyakinan Pada Masyarakat Kampung Naga Dalam
Mengelola Lingkungan Hidup (Studi Tentang Pantangan dan Larangan).
Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Tradisional Direktorat
Jenderal Kebudayaan.
Masinambau, E.K.M. 2001. ”Teori Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan”, dalam
Meretas Ranah: Bahasa, Semiotika, dan Budaya, Ida Sundari Husen dan
Rahayu Hidayat. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Munandar, Agus Aris. 2004.”Memaknai Warisan Masa Lalu: Data Arkeologi dan
Karya Sastra”, dalam Sang Tohaan. Persembahan untuk Prof.Dr.
Ayatrohaedi, Bogor: Akademia.
Noorduyn, J., dan A. Teeuw. 2006. Three Old Sundanese Poems. Leiden: KITLV
Press.
Peursen, C. A. van.. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius
Purwitasari, Tiwi. 2006. ”Pemukiman dan Religi Masyarakat Megalitik: Studi Kasus
Masyarakat Kampung Naga, Jawa Barat”, dalam Arkeologi dari Lapangan ke
Permasalahan. Jakarta: IAAI, hlm.175-185.
29





Rif’ati, Heni Fajria dan Toto Sucipto. 2002. Kampung Adat dan Rumah Adat di Jawa
Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat.
Suganda, Her. 2006. Kampung Naga: Memepertahankan Tradisi. Bandung: PT
Kiblat Buku Utama
Suhandi Shm., A. 1982. Penelitian Masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya.
Bandung: Universitas Padjadjaran.
Sumardjo, Jacob. 2003. Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-Tafsir Pantun
Sunda. Bandung: Kelir.
______________ 2006. Khazanah Pantun Sunda: Sebuah Interpretasi. Bandung:
Kelir.
Susanto, P.S. Hary. 1987. Mitos, Menurut Pemikiran Mircea Eliade.Yogyakarta:
Kanisius.
Widayati, Naniek. 2003. “Strategi Pengembangan Warisan Budaya: Sebuah
Pandangan dari Sisi Arsitektur”, dalam Kongres Kebudayaan Indonesia ke V,
Bukittinggi, 19-23 Oktober.



Internet
Ahmad Gibson AlBustomi, ”Islam-Sunda Bersahaja di Kampung Naga”. Posted on
April 14th, 2006, http://g13b.blogdetik.com, diakses 21 Mei 2008.
Ahmad Gibson Al-Bustomi, “Struktur Kosmologis dan Apresiasi Seni Tradisi”,
Posted on April 18th, 2006, dalam http://g13b.blogdetik.com, diakses 21 Mei
2008.
Ahmad Gibson Al-Bustomi, “Latar kosmologi Seni Tradisi: Kritik Nalar
Poskolonial”, July 11, 2008 dalam http://averroes.or.id/2008. diakses 21 Mei
2008.
http://gerbang.jabar.go.id/kabtasikmalaya
http://g13b.blogdetik.com, diakses 20 Mei 2008.

Sumber: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/kampung_naga_tasikmalaya_dalam_mitologi

Tata Ruang Situs Cangkuang - Budaya Sunda

Tata Ruang Situs Cangkuang - Budaya Sunda

Makalah berjudul “Tata Ruang Situs Cangkuang, Leles, Garut: Keberlanjutan Budaya Masyarakat Sunda”, membahas tata ruang situs Cangkuang dari berbagai masa, termasuk di dalamnya masyarakat adat Kampung Pulo melalui studi Arkeologi khususnya Etnoarkeologi. Situs Cangkuang merupakan situs yang menyimpan sejumlah tinggalan arkeologi dari berbagai masa dalam satu kesatuan ruang (multi component sites). Mulai dari masa prasejarah berupa alat-alat obsidian, gerabah, dan sarana pemujaan, masa Hindu Budha berupa candi Hindu Saiwa, dan masa Islam berupa makam. Budaya materi itu, didukung pula oleh keberadaan masyarakat adat Kampung Pulo yang hingga kini masih melakukan tradisi hasil akulturasi budaya prasejarah, Hindu Budha, dan Islam yang tercermin pada konsep mengagungkan nenek moyang atau leluhur, tapa misalnya memegang teguh konsep tabu karena alasan adat (pamali), dan memelihara makam-makam suci (keramat). Kelangsungan tradisi itu juga terlihat pada upacara adat, dan pada konsep dasar rancangan arsitektur rumah yang mengacu pada keselarasan antara masusia dengan alam.
Pola Tata Ruang Situs Cangkuang, Leles, Garut: Kajian ...

POLA TATA RUANG SITUS CANGKUANG, LELES, GARUT:
KAJIAN KEBERLANJUTAN BUDAYA
MASYARAKAT SUNDA


The Planology of Situs Cangkuang, Leles, Garut:
A Cultural Continueing of Socialize Sunda





Oleh
ETTY SARINGENDYANTI


Makalah disampaikan pada Jurnal Sastra
Dies Natalis Fakultas Sastra ke 50













FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2008







LEMBAR PENGESAHAN








Judul

: Pola Tata Ruang Situs Cangkuang, Leles, Garut:
Kajian Keberlanjutan Budaya Masyarakat Sunda




Oleh

: Etty Saringendyanti, Dra., M.Hum.
NIP. 131573160




Evaluator,






H. Maman Sutirman, Drs., M.Hum.


Dr. Wahya, M.Hum.
NIP. 131472326





NIP. 131832049






Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Sejarah,






Awaludin Nugraha, Drs., M.Hum.
NIP 132102926




Tata Ruang Situs Cangkuang Leles, Garut:
Keberlanjutan Budaya Masyarakat Sunda
The Planology of Situs Cangkuang, Leles, Garut:
A Cultural Continueing of Socialize Sunda
Oleh: Etty Saringendyanti1

ABSTRAK
Makalah berjudul “Tata Ruang Situs Cangkuang, Leles, Garut: Keberlanjutan
Budaya Masyarakat Sunda”, membahas tata ruang situs Cangkuang dari berbagai
masa, termasuk di dalamnya masyarakat adat Kampung Pulo melalui studi Arkeologi
khususnya Etnoarkeologi.
Situs Cangkuang merupakan situs yang menyimpan sejumlah tinggalan arkeologi
dari berbagai masa dalam satu kesatuan ruang (multi component sites). Mulai dari
masa prasejarah berupa alat-alat obsidian, gerabah, dan sarana pemujaan, masa
Hindu Budha berupa candi Hindu Saiwa, dan masa Islam berupa makam.
Budaya materi itu, didukung pula oleh keberadaan masyarakat adat Kampung Pulo
yang hingga kini masih melakukan tradisi hasil akulturasi budaya prasejarah, Hindu
Budha, dan Islam yang tercermin pada konsep mengagungkan nenek moyang atau
leluhur, tapa misalnya memegang teguh konsep tabu karena alasan adat (pamali),
dan memelihara makam-makam suci (keramat). Kelangsungan tradisi itu juga terlihat
pada upacara adat, dan pada konsep dasar rancangan arsitektur rumah yang mengacu
pada keselarasan antara masusia dengan alam.
Kata Kunci: Situs Cangkuang, Budaya Sunda, Tata Ruang



1 Penulis adalah staf pengajar Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran
2


ABSTRACT
The Planology Situs Cangkuang, Leles, Garut: A Cultural Continueing of Socialize
Sunda, is an archaeological research, especially etnhoarchaeology, concern the Situs
Cangkuang planologic, inclusive the society of Kampung Pulo from some periode.
Situs Cangkuang is a multi component sites. Prehistory indicated by the obsidian
equipment, pottery, and the ceremonial equipment, Hindu Budha periode by the
Hindu Saiwa temple, and Islamic periode by a mausoleum.
Material cultures, and also supported by existence of Kampung Pulo as a traditional
society which still kept the result of traditional culture as an acculturation of
prehistory, Hindu Budha, and the Islam culture, which mirror by concept idolize
ancestors, “tapa” such as holding firmness conception taboo because custom interdict
(pamali), and look after shrine. Continuity of that traditions are also seen at custom
ceremony, and at elementary concept of house architecture device which relate at
compatibility between human and nature.
Keyword: Situs Cangkuang, Sunda’s Culture, Planology


3




PENDAHULUAN
Arkeologi sebagai sebuah disiplin ilmu humaniora memiliki cukup banyak
masalah pelik di tingkat interpretasi. Namun demikian hal tersebut umumnya
menjadi pemicu dalam pengembangan dan kemajuan kajian arkeologi. Salah satu
langkah perkembangan arkeologi misalnya adalah melakukan perlintasan teori dan
metode dengan etnografi, yaitu melakukan analogi antara tradisi yang masih
berlanjut pada masyarakat sekarang dengan benda-benda arkeologi yang sudah lepas
dari masyarakat pendukungnya. Kajian yang kemudian dikenal dengan etnoarkeologi
ini, menurut Mundardjito2 didasari oleh tingkah laku manusia masa lalu yang tidak
dapat diamati lagi secara langsung. Namun demikian, tingkah laku manusia masa
lampau itu dapat diinterpretasikan melalui artefak yang diwariskan. Interpretasi atas
tingkah laku dan penggunaan artefak diambil berdasarkan atas persamaan bentuk
artefak dengan artefak-artefak yang digunakan oleh masyarakat yang masih hidup
sebagai penerus budaya. Asumsi yang diberlakukan adalah jika dua kelompok gejala
mempunyai kesamaan dalam hal tertentu (misalnya bentuk), maka keduanya akan
memiliki kesamaan juga dalam beberapa hal lain (misalnya cara membuat atau
memakai).
Dalam konstalasi demikian, Situs Cangkuang merupakan situs yang tergolong
multi component sites, didukung oleh keberadaan masyarakat adat Kampung Pulo
dengan tatanan kehidupan yang bersahaja dan masih tetap menjalankan norma tata

2 Dalam artikelnya, “Etnoarkeologi: Peranannya dalam Pengembangan Arkeologi di
Indonesia”, 1981, dalam Majalah Arkeologi, Th.IV. No.1, hlm. 1-17.
4



ruang yang berakar pada unsur asli (local genius) Indonesia, khususnya Sunda kuna.
Istilah terdekat dari fenomena ini adalah living monument.
Penelitian Situs Cangkuang diketahui pertamakali dari tulisan Voderman dalam
sebuah buku berjudul Batavia Guinneskoop (tt), yang ditemukan tahun 1893 di
sebuah desa di wilayah kecamatan Pawitan, lebih kurang 20 km dari desa Cangkuang
sekarang. Dalam tulisan itu disinggung tentang temuan sebuah arca (Hindu) di
sekitar situ Cangkuang dan sebuah makam keramat yang sangat dihormati oleh
penduduk setempat. Tahun 1914 sebuah artikel dalam R.O.D. mengungkapkan
adanya situs hunian (Prasejarah) di wilayah sekitar situ Cangkuang. Pernyataan ini
didukung oleh Furer-Heimendorf (1939) yang melakukan penelitian di lembah-
lembah sekitar gunung Haruman, Kaledong, Mandalawangi, dan gunung Guntur.
Penelusuran kembali atas penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Uka
Tjandrasasmita (1966-1976), menghasilkan pemugaran situs cangkuang secara
keseluruhan.
Beberapa tulisan yang membahas tinggalan arkeologi dari masa prasejarah,
antara lain “Peninggalan-peninggalan prasejarah di sekitar danau Cangkuang, Leles”,
yang ditulis Nies Anggraeni dalam Kalpataru tahun 1976. Dalam tulisannya,
Anggraeni mendeskripsikan keberadaan tinggalan arkeologi dari masa prasejarah di
pulau-pulau kecil dan bukit-bukit kecil Situ Cangkuang. Dalam tulisan ini Anggraeni
tidak membahas lebih lanjut keberadaan tinggalan tersebut sampai taraf eksplanasi.
Tulisan sejenis ditulis oleh Satyawati Suleiman dalam Monuments of Ancient
Indonesia (1976), mengenai tinggalan budaya prasejarah, Hindu Budha, dan Islam.
Dalam tulisan ini Satyawati lebih menitikberatkan bahasan pada keberadaan Candi
Cangkuang sebagai bangunan suci Hindu Saiwa.
5



Permasalahan Candi Cangkuang juga dibahas oleh Etty Saringendyanti dalam
tesisnya berjudul Pola Penempatan Situs Upacara: Kajian Lingkungan Fisik
Kabuyutan di Jawa Barat pada Masa Hindu Budha, tahun 1996, dan ditulisnya pula
dalam Bab II Sejarah Tatar Sunda Jilid I, karya bersama Nina H. Lubis (dkk.) tahun
2003 dan terbitan revisi tahun 2004. Tulisan-tulisan non penelitian berupa artikel dan
cukilan buku dapat ditemukan pada beberapa website. Namun demikian, tulisan yang
langsung menunjukkan keterkaitan antara tinggalan arkeologi dengan masyarakat
adat Kampung Pulo belum ditemukan, terlebih lagi dalam kaitannya dengan studi
keberlanjutan budaya di situs itu.


TATA RUANG SITUS
Situs Cangkuang terletak
di
Kampung
Pulo,
Desa
Cangkuang, Kecamatan Leles,
Kabupaten Garut. Untuk men-
capai lokasi Situ Cangkuang
dapat
ditempuh
dengan
kendaraan roda empat. Per-
jalanan dimulai dari arah jalan raya Bandung - Tasikmalaya, lebih kurang 9 km
meninggalkan Bandung, tidak jauh setelah turunan tajam Nagrek, akan ditemukan
persimpangan menuju Kabupaten Garut atau jantung Kota Garut. Setibanya di alun-
alun kota Kecamatan Leles, tepatnya beberapa meter sebelum alun-alun, perjalanan
membelok ke kiri menuju Desa Cangkuang dan Kampung Ciakar. Dari pertigaan
6



Kota Garut - Desa Cangkuang - Desa Ciakar ini perjalanan menuju Desa Cangkuang
masih dapat dilanjutkan dengan kendaraan roda empat, atau angkutan umum lainnya
yang menjadi pilihan untuk wisata, seperti ojek, delman, maupun berjalan kaki
sejauh + 6 km.
Dari Balai Desa Cangkuang pengunjung langsung menuju Kampung Ciakar
yang berjarak + 1,25 km dan sampai di kompleks kantor wisata daerah yang berada
di sisi danau. Dari perkantoran ini ke lokasi candi harus ditempuh dengan naik rakit
bambu wisata.
Sementara itu, + 300 meter sebelum kantor wisata, pengunjung dapat memilih
jalan setapak di atas sebuah bendungan dan dilanjutkan melalui jalan setapak di
pematang sawah, sebagaimana diurai di muka.
Jika pengunjung memilih rute dari kantor wisata daerah, perjalanan kemudian
dilanjutkan menuju candi mendaki bukit kecil setinggi +10 meter dari permukaan air
danau. Para pengunjung bisa saja berjalan dengan menempatkan bukit di sisi kiri,
dengan demikian teras pertama dari bukit merupakan kompleks pemakaman
penduduk setempat. Akan tetapi oleh dinas wisata, pengunjung diarahkan agar bukit
berada di sisi kanan, yaitu melalui tangga melingkari bukit yang disediakan oleh
dinas pariwisata menuju candi. Sesampai di pintu pemeriksaan berikutnya, jalan
bercabang. Ke kiri tangga mendaki menuju bangunan candi, dan ke kanan ke
kompleks perumahan desa adat Kampung Pulo.
Sementara itu, jika pengunjung memilih jalan setapak yang berada sekitar + 300
meter sebelum kantor wisata daerah, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki
menuju pulau terdekat. Di pulau tersebut terdapat sebuah bangunan sarana pariwisata
7



yang saat ini terbengkalai. Dari sini bila pandangan diarahkan ke seputar, terlihat
bahwa Pulau Panjang atau Pulau Gede berbentuk memanjang, membujur arah barat-
timur dengan ukuran luas 16,5 hektar. Dan dua pulau lainnya terletak di sebelah
selatan dan tenggara Pulau Panjang atau Pulau Gede. Kedua pulau kecil pendamping
ini berukuran lebih kecil dan berbentuk agak bulat. Di sekeliling pulau kecil ini
merupakan daratan rawa yang berair.
Secara geografis Situs Cangkuang merupakan sebuah kawasan perbukitan kecil
dengan ketinggian + 695 - 706 meter d.p.l. di lembah yang luas dan berhawa sejuk,
terutama karena dikelilingi oleh sejumlah gunung, yaitu di utara membentang
gunung Mandalawangi, Kaledong dan gunung Haruman, di sebelah timur gugusan
gunung Batara Guru, di barat gunung Guntur, dan di sebelah selatan gunung Cikurai,
dengan curah hujan rata-rata setiap tahun 2.044.5 mm. Di situs ini, peninggalan
arkeologi tersebar di 11 pasir dan di sekitar danau (situ) Cangkuang.
Ironisnya, sejak beberapa dasawarasa terakhir pasir-pasir yang menyimpan
tinggalan arkeologis ini telah menjadi lahan pertanian, baik sebagai persawahan
tadah hujan maupun ladang palawija dan sayur-sayuran. Selama penggarapan itu
telah banyak temuan permukaan dan deposit tinggalan arkeologi hilang begitu saja.
Kebanyakan dari temuan itu berupa alat-alat obsidian, pecahan gerabah, dan sisa-sisa
bangunan megalitik. Sejak dihentikannya penggarapan oleh penduduk setempat,
pasir-pasir tersebut ditumbuhi semak belukar dan terbengkalai. Sehingga kurang
diminati sebagai obyek wisata sebagaimana bangunan candi, Desa Adat Kampung
Pulo dan makam Embah Dalem Arief Muhamad, Eyang Sunan Pangadegan dan
makam Eyang Ratu Sima
8



Bangunan candi, Desa Adat Kampung Pulo serta makam-makam suci tersebut
secara fisik saat ini terletak di bukit kecil di atas lahan berupa semenanjung yang
menjorok ke tengah danau ke arah timur. Jika dilihat dari sisi utara-selatan, akan
terlihat deretan tiga pulau kecil di tengah danau, dimana candi dan makam Embah
Dalem Arief Muhamad, Eyang Sunan Pangadegan dan makam Eyang Ratu Sima
berada di pulau terbesar dari tiga pulau kecil itu. Oleh penduduk setempat pulau
tempat berdirinya candi disebut dengan nama Pulau Panjang atau Pulau Gede,
sementara itu danau (situ) dan bangunan candi diberi nama Situ Cangkuang dan
Candi Cangkuang.
Dilihat dari keadaaan fisik
lahan (tata ruang) yang disebu
t
Pulau
Panjang,
sangat
besar
kemungkinan bahwa lahan tersebut
merupakan sebuah pulau dalam arti
sebenarnya di tengah sebuah danau.
Bagian yang merupakan sambungan
(semenanjung) berada di sisi utara,
merupakan bagian danau yang mengering dan telah dijadikan lahan persawahan
sejak puluhan tahun terakhir. Kemudian sebuah pulau kecil di sisi barat Pulau
Panjang oleh penduduk setempat “ditautkan” melalui pembuatan bendungan dan di
atasnya menjadi jalan setapak untuk ziarah ke kuburan kuno di pulau kecil tersebut.
Dan sisi selatan pulau kecil ini “ditautkan” oleh jalan setapak di atas lahan danau
yang mengering ke sebuah pulau lainnya yang lebih besar. Dan pulau yang lebih
9



besar ini “ditautkan” ke tepian danau oleh bendungan yang memiliki jalan setapak
pula.


TINGGALAN BUDAYA PRASEJARAH
Sisa-sisa tinggalan prasejarah tersebar di pulau-pulau kecil dan bukit-bukit
kecil sekitar danau, baik yang secara administratif sekarang termasuk desa
Cangkuang ataupun desa-desa lain sekitarnya, yang oleh penduduk setempat disebut
pasir. Sampai saat ini artefak prasejarah ditemukan di Pasir Guling, Pasir lio, Pasir
Sempur, Sadang Gentong, Pasir Palalangon, Pasir Kondeh, Pasir Tanggal,. Pasir
Canggal, Pasir Muncang, Pasir Laku, dan Pasir Tarisi, sebagaimana dapat dilihat
pada peta dan table temuan berikut.

10



TABEL TEMUAN
JENIS TEMUAN
NO
SITUS
Alat
Manik-
Sarana
Gerabah
Kereweng
Lainnya
Obsdian
manik
upacacara

1.
Pasir Guling






batu
2.
Pasir Lio





asahan
Pasir
pembuatan
3.





Sempur
gerabah
Sadang
pembuatan
4.





Gentong
gerabah
Pasir

5.





Palalangon

Pasir

6.





Kondeh

Pasir

7.





Tanggal

Pasir

8.





Canggal

Pasir
kapakneolit
9.





Muncang
batu api

10.
Pasir Laku






beliung
11.
Pasir Tarisi





persegi



11





A. ALAT-ALAT OBSIDIAN
Alat-alat obsidian,3 berdasarkan analisis bentuk dan fungsi terbagi atas:
A. Serpih, terdiri dari bentuk Serut Ujung, Serut Cekung, Serut Samping, Serut
Cekung Ganda, Serut Gigir, dan Lancipan (gambar 1)

Gambar 1 : Alat-alat obsidian bilah pendek
Sumber : Wibowo, 2002


B. Bilah, terdiri dari bentuk Pisau, Serut Samping, dan Serut Ujung (gambar 2)

Gambar 2 : Alat-alat obsidian bilah pendek
Sumber : Wibowo, 2002


C. Bilah Pendek, terdiri dari Pisau dan Serut Samping, secara anatomis bentuknya
hampir sama dengan bilah tetapi ukurannya lebih pendek (gambar 3).

Gambar 3 : Alat-alat obsidian bilah pendek
Sumber : Wibowo, 2002



3 Anggraeni (1976, 1978), dalam Wibowo, 2002: 18-21.
12





B. GERABAH
Penelitian Anggraeni dan Rachmiana4 terhadap fragmen-fragmen gerabah
menghasilkan keragaman bentuk, yaitu piring, periuk, cawan, pasu, tempayan, dan
kendi.
Piring merupakan bentuk
wadah yang pembuatannya masih
dijumpai
di
Desa
Sadang
Gentong, sedangkan tempayan
(gentong) selain dibuat di Sadang
Gentong juga di Pasir Sempur.
Gerabah yang diproduksi di Pasir Sempur berbentuk cobek (untuk menggiling
cabai), cuwo (semacam mangkuk besar, digunakan untuk tempat air dan lainnya),
dan sangrayan (semacam cobek tapi besar dipakai untuk menggoreng tanpa minyak)
C. SARANA PEMUJAAN
Sebagaimana telah diuraikan pada
bagian sebelumnya, meskipun ternyata
masih dianggap kurang lengkap, bahwa
gambaran yang umum tentang bangunan
keagamaan dari masa prasejarah adalah
tradisi megalitik. Sarana pemujaan yang
ditemukan berupa bangunan megalitik
berbentuk Stone enclosure, batu kursi (pelinggih), altar, menhir, dan teras berundak.

4 Anggraeni, 1976: 56-70; dan Rachmiana, 2004: 75-80
13



TINGGALAN BUDAYA HINDU BUDHA
Artefak masa Hindu Budha
yang ditemukan di Situs Cangkuang
adalah Candi Cangkuang, yang saat
ini menjadi sebuah obyek wisata.
Candi
Cangkuang
adalah
hasil
rekonstruksi
dari
serentetan
penelitian dan pemugaran. Kendatipun dari sudut
pandang pemugaran mungkin Candi Cangkuang tidak
layak untuk dipugar karena sisa bangunan yang
ditemukan sangat tidak memadai, namun sisi penelitian
dan monumental membuka peluang menghadirkan
Candi
Cangkuang
sebagai
candi yang
dipugar
seutuhnya tanpa detail arsitektural seperti hiasan
ornamental yang biasanya menghiasi ruang-ruang
tertentu pada candi.
Candi hasil pemugaran yang diduga berasal dari sekitar abad ke 8-9 Masehi,
berdiri pada sebuah lapik bujursangkar. Di sisi utara badan bangunan terdapat
penampil pintu masuk, dan atap bangunan terdiri dari dua tingkatan dengan hiasan
kemuncak di puncak atapnya. Bagian dalam bangunan terdapat ruangan dengan
14



lantai yang pada bagian tengahnya terdapat lubang, dan di atas lubang tersebut
ditempatkan sebuah arca Siwa Mahadewa dari batu andesit.5
Arca tersebut ditemukan sekitar tahun 1800-an. Kedua tangan dari siku hingga
sedikit di atas pergelangan putus Perut terlihat sangat ramping dan mengkilap licin.
Dilihat dari tidak adanya alur patahan tangan pada bagian perut (pinggang) memberi
kesan bahwa bagian atas (dada ke atas) dan bagian bawah (dada ke bawah)
merupakan dua fragmen arca dewa yang disatukan.
Keseluruhan arca dewa ini duduk bersila di atas bantalan teratai (padmasana).
Mengenakan jatamakuta (gelungan rambut), mempunyai sirascakra (lingkaran
kedewaan yang terletak di belakang kepala), tangan kanan bersikap varamudra
(sikap tangan memberi anugrah), dengan sikap duduk Paryankasan, dan di bagian
depan kaki kiri terdapat kepala seekor sapi (nandi).


TINGGALAN BUDAYA ISLAM
Makam kuno di situs Cangkuang tersebar di
beberapa tempat. Makam terbesar dan paling sering
dikunjungi oleh penziarah adalah makam yang
tepat berada di sisi utara bangunan candi, berjarak
sekitar 1 s/d 2 meter saja, sehingga menjadi satu
kesatuan
di halaman
percandian.
Penduduk
setempat mempercayainya sebagai makam Arief

5 Utomo, http://www.budpar.net/, diakses pada 10-4-2007, dan pengamatan di lapangan.

15



Muhammad, seorang yang dikeramatkan sebagai penyebar agama Islam pertama di
wilayah itu.
Saat ini makam ditampilkan berbentuk kijing bercungkup dengan lapik tunggal
di atas lantai dari mozaik batu pipih, berorientasi barat – timur.
Makam lainnya adalah makam Eyang Sunan Pangadegan dan Eyang Ratu
Sima, berada di sisi tenggara Pulau Panjang, pada sebuah puncak bukit yang berdiri
di atas bangunan teras berundak tiga.


Gambar 4 : Sketsa tampak samping makam Eyang Sunan
Pangadegan dan Ratu Sima

Makam lainnya yaitu Makam Prabu Santosa atau Prabu Santoa’an, serta
makam Prabu Wiradibaya dan Prabu Wiradijaya yang masing-masing berada di
pulau-pulau kecil lainnya. Makam Prabu Santosa secara fisik terlihat seperti makam
16



penduduk desa umumnya, demikian juga makam Parabu Wiradibaya dan Prabu
Wirawijaya. Agaknya perbedaan fisik dengan makam Eyang Sunan Pangadegan atau
Eyang Ratu Sima misalnya karena letak yang terpisah dan tidak banyak dikunjungi
penziarah.
Secara keseluruhan, tata ruang Situs Cangkuang adalah tinggalan budaya
prasejarah tersebar di luar kawasan situ Cangkuang, sedangkan bangunan candi,
Desa Adat Kampung Pulo serta makam-makam suci, secara fisik saat ini terletak di
bukit kecil di atas lahan berupa semenanjung yang menjorok ke tengah danau ke arah
timur. Jika dilihat dari sisi utara-selatan, akan terlihat deretan tiga pulau kecil di
tengah danau, dimana candi dan makam Embah Dalem Arief Muhamad, Eyang
Sunan Pangadegan dan makam Eyang Ratu Sima berada di pulau terbesar (Pulau
Panjang/Pulau Gede) dari tiga pulau kecil itu.


KEBERLANJUTAN BUDAYA SUNDA
Keberlanjutan budaya Sunda, dapat dilihat pada masyarakat yang masih
menyimpan tradisi Sunda sebagaimana yang terlihat pada Masyarakat Adat
Kampung Pulo. Saat ini mereka menempati lahan seluas tidak lebih dari 2,5 ha.
Dengan luas tergolong kecil itu Kampung Pulo merupakan kawasan yang
“menyendiri”, jauh dari pemukiman lainnya. Hal ini mungkin karena lingkungan
alam berupa pulau kecil di tengah situ dan juga karena sebagai masyarakat adat,
mereka harus menjaga kelestarian adat dan tradisi yang mereka terima. Sesuai tradisi,
sekarang ini mereka dipimpin oleh seorang pemangku adat bernama Koswara (lihat
gambar 5).
17


GAMBAR 5: BAGAN SILSILAH PEMANGKU ADAT MASYARAKAT KAMPUNG PULO


Menurut Koswara (sehari-hari dipanggil Engkos)6 penduduk yang mendiami
desa adat Kampung Pulo adalah keturunan langsung dari Embah Dalem Arief
Muhammad.7 Besar kemungkinan pada masa pengislaman di Kampung Pulo oleh
Arief Muhammad, ajaran Hindu tidak serta merta hilang, akan tetapi tetap berjalan
sejajar (paralelisme) untuk tidak dinyatakan melebur satu sama lain (syncretisme).
Hal tersebut dapat dilihat dengan dipilihnya pusat keagamaan (ceremonial centre)

6 Wawancara dengan Koswara, Kuncen masyarakat Adat Kampung Pulo, 11 September
2007.
7 Arief Muhammad adalah salah seorang menantu Sultan Sumenep (Madura) yang sedang
mengabdi sebagai panglima perang dan diperintahkan oleh Sultan Agung dari kerajaan
Mataram Islam untuk membersihkan Kota Batavia dari pendudukkan tentara Belanda di
masa kolonial J.P. Coen (Sudrajat, dalam: http\\www.pikiran-rakyat.com; Rif’ati, 2002:
204).
18



Hindu sebagai tempat tinggal Arief Muhammad, yaitu bukit tempat berdirinya Candi
Cangkuang. Tempat ini pun kemudian menjadi pusat penyebaran agama Islam, baik
sebelum dan sesudah Arief Muhammad meninggal yang kemudian dimakamkan di
dekat Candi Cangkuang.
Agama Islam yang dianut mereka sebagaimana layaknya Islam pada umumnya.
Sejumlah kepercayaan dan larangan yang ada dalam masyarakat lebih kepada
ekspresi dari sistem kemasyarakatan yang telah mereka terima turun temurun.
Pemangku adat --lebih sering disebut kuncen-- merupakan tokoh sentral yang
dipercayai sebagai pemegang otoritas sistem kemasyarakatan dan kepercayaan itu.
Syarat utama pemangku adat adalah suami dari anak perempuan tertua yang masih
hidup. Sebagai tokoh adat seyogyanya seorang pemangku adat harus memahami
makna dan simbol adat dan tradisi yang berlaku, bijaksana, dan berwibawa.
Melihat syarat utama yang berlaku, dapat dilihat bahwa seorang pemangku
adat tidak harus memiliki garis keturunan Arief Muhammad. Boleh jadi ia “seorang
asing” yang menjadi anggota keluarga masyarakat adat Kampung Pulo karena
perkawinan. Berdasarkan keterangan Koswara, diketahui bahwa sistem perkawinan
yang berlaku adalah endogami maupun eksogami, dan perkawinan demikian itu telah
berjalan sejak dari awal. Pemahaman atas makna dan simbol adat dan tradisi yang
berlaku merupakan suatu hal yang dapat dipelajari kemudian (extrasomatic).
Menjadi seorang pemangku adat berarti menjadi seorang yang menjaga
keberlanjutan adat dan tradisi. Berwibawa dan bijaksana dalam menjaga hal tersebut
menjadikan seorang pemangku adat dipercaya memiliki kelebihan tertentu berkaitan
dengan harapan seluruh anggota masyarakat, memberikan ketenangan dan
kententraman, serta menjaga keselarasan hidup.
19



Dalam kaitannya dengan harapan anggota masyarakat, seorang pemangku adat
dianggap wakil terpilih untuk berhubungan dengan para leluhur, sehingga segala
sesuatu yang menjadi keinginan masyarakat dapat disampaikan melalui perantaranya.
Begitu pula sebaliknya, segala sesuatu yang menjadi keinginan para leluhur untuk
kepentingan dan masa depan keturunan mereka disampaikan melalui pemangku adat,
baik melalui firasat saat berdoa, mimpi, atau gejala-gejala alam.
Dalam pada itu, ketenangan, ketentraman, dan keselarasan dapat dicapai
apabila anggota masyarakat berpegang teguh pada apa yang disampaikan pemangku
adat dalam bentuk dongeng, cerita atau mitos, terutama pada apa yang menjadi
pantangan dan apa yang perlu ditaati, yaitu 5 ketentuan (lima pamali) berikut :
1. Terlarang untuk bekerja dan berziarah pada hari Rabu;
Hari Rabu merupakan hari pilihan untuk mempelajari dan memperdalam
pengetahuan agama, seluruh anggota masyarakat dilarang bekerja serta berziarah
ke makam Embah Dalem Arief Muhammad. Oleh karena larangan itu para
penziarah tamu pun dilarang berziarah, namun kalau pun ada yang datang karena
mereka tidak tahu maka pemangku adat --dalam hal ini menjadi kuncen-- dan
anggota masyarakat Kampung Pulo lainnya tidak boleh melayani mereka.
2. Terlarang untuk memelihara hewan peliharaan berkaki empat kecuali kucing;
Larangan ini lebih diperuntukkan kepada menjaga kesucian dan kebersihan desa
adat Kampung Pulo dari gangguan dan kotoran hewan peliharaan berkaki empat
selain kucing. Pengecualian terhadap kucing berkaitan dengan kepercayaan bahwa
hewan tersebut merupakan peliharaan kesayangan Nabi Muhammad.
3. Terlarang menambah dan mengurangi jumlah rumah;
20



Jumlah rumah di desa adat Kampung Pulo berjumlah enam, sesuai jumlah anak
perempuan Arief Muhammad yang tersisa. Yang berhak menempati atau mewarisi
rumah adalah anak perempuan tertua masing-masing keluarga berupa keluarga
batih untuk menjaga kenyamanan rumah dan ketenangan rumah tangga. Artinya
baik anak perempuan tertua maupun bukan, 15 hari sesudah upacara perkawinan
pasangan pengantin tersebut harus meninggalkan rumah untuk tinggal di luar desa
adat Kampung Pulo. Apabila saatnya tiba --dalam hal ini jika ibu pewaris
meninggal dunia-- maka anak perempuan tertuanya beserta keluarga batihnya
yang tinggal di luar desa adat Kampung Pulo harus kembali menempati rumah di
desa adat Kampung Pulo. Jika kebetulan anak perempuan tertua yang berhak
berstatus janda, maka hak waris jatuh kepada anak perempuan tertua berikutnya
yang masih bersuami
4. Terlarang membuat atap rumah berbentuk prisma;
Larangan membuat atap rumah berbentuk prisma berkenaan dengan kejadian
tragis yang menimpa satu-satunya anak lelaki Embah Dalem Arief Muhammad,
sebagaimana dikisahkan secara turun temurun oleh pemangku adat. Tatkala anak
lelaki semata wayang Embah Dalem Arief Muhammad cukup umur untuk
dikhitan, maka dilaksanakanlah upacara khitanan yang menyertainya termasuk
mengarak “raden nganten” dalam sebuah tandu berbentuk prisma. Pada saat
diarak, tiba-tiba datang angin kencang yang membuat arak-arakan kocar-kacir dan
mencelakakan “raden nganten” hingga meninggal dunia. Untuk memperingati
kejadian tragis itu, maka desa adat Kampung Pulo pamali membuat atap
berbentuk prisma.
5. Terlarang memukul gong besar.
21



Pamali ke 5 ini masih berkenaan dengan kejadian pamali ke 4. Sebagaimana
diurai pada pamali ke 4 sebuah kejadian tragis telah menimpa arak-arakan “raden
nganten” dan dalam kejadian itu gong besar merupakan alat musik dalam gamelan
pengiring. Jadi untuk memperingati kejadian tragis itu, maka desa adat Kampung
Pulo pamali membunyikan gong besar. Oleh karena itu, di Kampung Pulo
kesenian tidak berkembang sebagaimana layaknya kesenian di daerah lain.
Sampai saat ini, upacara adat yang dilakukan secara periodik antara lain
upacara yang berkaitan dengan lingkaran kehidupan (life cycle), yaitu: perkawinan;
kehamilan misalnya upacara Nujuh Bulan; kelahiran bayi (Marhabaan); kematian
misalnya tiluna, tujuhna, matangpuluh, natus, muluh, nyewu, nyeket, dan mendak;
pertanian; mendirikan rumah misalnya mitembeyan, ngadegkeun, suhunan, dan
syukuran ngalebetan; serta Ngaibakan Benda Pusaka.
Dari upacara-upacara adat itu, yang dianggap khas karena mempunyai nilai
khusus bagi mereka adalah upacara Ngaibakan Benda Pusaka yang dilakukan pada
saat purnama (tanggal 14) bulan Maulud. Dalam upacara itu, benda-benda yang
dianggap suci seperti tombak, keris, kujang, dan benda-benda pusaka lainnya dicuci
bersih. Peserta upacara tidak hanya masyarakat Kampung Pulo melainkan juga
masyarakat di sekitar Kampung Pulo bahkan dari luar Garut seperti Bandung,
Tasikmalaya, Ciamis, dan sebagainya.
Pola perkampungan masyarakat adat Kampung Pulo, juga harus sesuai adat
yaitu 7 bangunan utama terdiri dari 6 rumah dan 1 mushola yang ditata membentuk
huruf U. Dalam luas wilayah sekitar 0,5 hektar, 7 bangunan itu ditata membentuk
huruf U, masing-masing dua deret/baris, satu deret/baris terdiri atas tiga rumah
dengan jarak dan ukuran rumah hampir sama.
22


GAMBAR 6 : DENAH KOMPLEK RUMAH ADAT KAMPUNG PULO

Denah rumah berbentuk empat persegi panjang, membujur dari arah barat-
timur dengan arah hadap utara atau selatan. Dengan arah hadap demikian, setiap
rumah saling berhadapan dengan pembatas tanah lapang, yang sekaligus menjadi
halaman rumah dan jalan, serta tempat untuk bertamu, berkumpul dan berbincang-
bincang warga kampung di sore hari selepas bekerja. Di belakang rumah, terdapat
bangunan terpisah berupa kamar mandi (MCK) dan kandang ternak (ayam atau
bebek).8
Sementara itu, salah satu rumah
tinggal
hasil
pemugaran
Suaka
Peninggalan Sejarah dan Purbakala
Propinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan
Lampung, yang disesuaikan dengan
bentuk bangunan rumah asli (rumah no. 4), dan bangunan rumah lain (rumah no. 1,

8 Rif’ati, 2002: 216-218, dan pengamatan di lapangan.
23



2, 3, 5, dan 6) dalam pengamatan terakhir terlihat telah ada penambahan, namun
secara prinsipil (menurut istri kuncen) tidak mengubah bentuk maupun pembagian
ruang bangunan. Penambahan tersebut berupa dinding bilik di sisi ruangan no.2
(ruang tamu) sehingga mendapat sebuah ruangan tertutup yang bisa dijadikan ruang
tamu atau kamar tidur.

Baik rumah hasil pemugaran maupun rumah lainnya memiliki bagian-bagian
rumah sebagai berikut (Perhatikan gambar no: 8, sketsa bangunan}
a. Tatapakan batu (umpak batu), merupakan fondasi tiang berbentuk persegipanjang,
terbuat dari batu alam dengan permukaan relatif rata. Umumnya dibuat untuk
menjaga ketahanan tiang.
b. Golodog terbuat dari kayu, terletak di bawah lantai ruang tamu dan pintu dapur.
Golodok berfungsi sebagai tangga masuk ke rumah, untuk duduk
atau
mengerjakan pekerjaan ringan seperti menganyam, meraut bambu, membuat
kerajinan dari bambu atau untuk mencuci kaki sebelum masuk rumah.
24



c. Ruang tepas, merupakan ruang tamu yang berasal dari ruang terbuka (bangunan
asli) yang ditutup dengan dinding terbuat dari bilik yang dianyam dengan pola
anyaman kepang. Secara keseluruhan ruangan ini dibuatkan lantai terbuat dari
anyaman bambu (bilik) dengan pola yang sama. Lantai bilik digelarkan di atas
bambu bulat (utuh).
d. Pintu, terdiri dari dua pintu masuk utama, yaitu pintu depan terletak di ruang tamu
dan pintu belakang terletak di dapur. Pintu masuk penunjang, terdapat di tiap-tiap
ruang tidur, dan pintu ruang t
engah menuju dapur. Pintu berb
entuk
persegipanjang, berukuran 1,75 meter x 1 meter, dan dibuat dari bilik sasag dan
kayu. Pada umumnya, pintu mempunyai ukuran, bentuk, dan bahan sama.
e. Tiang, berjumlah 16 buah dan terbuat dari kayu. Tiang merupakan pendukung
rangka atap, lantai serta sebagian rangka bangunan rumah induk. Paku digunakan
sebagai penguat konstruksi bangunan.
f. Jendela, terletak di bagian depan, samping, atau belakang dengan ukuran yang
hampir sama. Pada umumnya jendela berukuran 1 meter x 0,90 meter, berbentuk
persegipanjang dan pada bagian tersebut dipasang kayu dengan jarak tertentu
secara vertikal (jalosi), serta daun jendela kayu sebagai penutupnya.
g. Atap, berbentuk julang ngapak (sikap burung julang merentangkan sayap) yang
memiliki empat buah bidang atap. Dua bidang atap bertemu pada garis suhunan
dan letaknya menurun miring. Dua bidang atap lainnya merupakan kelanjutan dari
bidang-bidang itu dengan membentuk sudut tumpul, pada garis pertemuan antara
keduanya. Bidang atap tambahan yang menandai ini disebut leang-leang.
h. Di bagian pertemuan kedua belah atap, dibentuk menyerupai tanduk lurus disebut
cagak gunting atau capit hurang dan dililitkan ijuk. Fungsi capit hurang secara
25



teknis adalah untuk mencegah air merembes ke dalam para. Penutup atap di ruang
tamu menggunakan bambu bulat yang dipasang berjajar (talahab). Penutup atap
lainnya dibuatkan daro, terbuat dari daun alang-alang atau rumbia dan ijuk yang
diikat dengan tali dari bambu ke bagian atas dari rangka atap. Untuk memperkuat
bagian itu digunakan paku.
Langit-langit/Plafon, terbuat dari bilik dengan pola anyaman kepang. Jarak dari
lantai rumah ke langit-langit berukuran tinggi 3 meter. Dalam pemasangannya,
lembaran bilik diletakkan di bagian atas, dan di bawahnya diletakkan bambu bulat
yang dijajar dengan jarak antar bambu relatif sama.
Sementara itu, pembagian (penataan) ruangan dan fungsi masing-masing
ruangan rumah tinggal adalah sebagai berikut (perhatikan gambar no: 8, denah
bangunan):
1. Golodog, berfungsi sebagai tangga masuk ke rumah.
2. Ruang tamu, berukuran 5,60 meter x 5,60 meter, berfungsi untuk menerima tamu,
tempat berkumpul warga, tempat bermusyawarah, dan ruangan santai di siang
hari. Ruangan ini merupakan ruang terbuka tanpa dinding terletak di bagian muka
rumah, yang dibiarkan kosong tanpa perkakas rumah, seperti meja, kursi atau
bale-bale. Pada rumah lain, ruang ini ditutup dinding bilik (ruang tepas).
3. Ruang tidur tamu, terletak di sebelah kiri ruang tamu. Bila tidak ada tamu yang
menginap, ruangan ini dibiarkan kosong.
4. Ruang tidur utama, berukuran 3,80 meter x 2,75 meter, terletak di bagian rumah
sebelah kanan, dan berfungsi sebagai ruang tidur keluarga. Ruang tidur terdiri dari
dua kamar tidur keluarga dan satu kamar tidur tamu (yang masih terhitung
keluarga. Setiap kamar diberi pembatas dinding bilik dan satu pintu).
26



5. Ruang tengah, berukuran 7,60 meter x 2,90 meter, terletak di bagian tengah
rumah. Letak ruangan ini diapit dengan ruang tamu, kamar tidur, dan dapur.
Ruang tengah berfungsi sebagai tempat berkumpul keluarga, dan biasanya
terdapat kursi, meja, lemari, dan TV.
6.. Dapur, terletak di bagian kanan, dan berfungsi untuk kegiatan masak memasak.
Di dapur terdapat tungku perapian atau hawu yang terbuat dari tumpukan bata dan
diberi alas (parako) agar lantai bambu atau palupuh tidak terbakar. Di atas tungku
dibuat atap agak rendah (
paraseuneu), yang digunakan sebagai temp
at
menyimpan barang-barang, seperti kayu bakar, jagung, ubi jalar, dan sebagainya.
7. Goah, merupakan ruangan kecil yang terletak di bagian dapur sebelah kanan,
berukuran 7,60 x 2,70 m. Ruangan ini berfungsi untuk menyimpan padi atau
beras.
Selain bangunan utama, terdapat bangunan lain yang terpisah dan terletak di
belakang rumah, yaitu kamar mandi dan kandang ternak.


Gambar 8: SKETSA DAN DENAH RUMAH ADAT KAMPUNG PULO
(Sumber Rif’ati 2002: 225)
27


Mushola berbentuk bangunan berdenah empatpersegi, terdiri dari bangunan
utama dan tempat berwudhu. Bangunan utama merupakan bangunan panggung
(berkolong). Tempat berwudhu berada di sebelah kanan bangunan utama, berukuran
7,90 meter x 4,30 meter, terbuat dari beton dengan sumber air yang berasal dari
sumur di sampingnya.

Ruangan bangunan utama dibagi menjadi ruang sholat dan ruang depan. Ruang
depan merupakan ruang terbuka berukuran 2,50 meter x 2,15 meter yang berfungsi
sebagai tempat berkumpul setelah sholat. Untuk menuju ruang sholat digunakan
sebuah pintu masuk. Ruang sholat berukuran 4,30 meter x 3,50 meter. Dan
sebagaimana layaknya sebuah mushola di ruangan ini terdapat sebuah mihrab
sebagai arah kiblat dan tempat imam memimpin sholat berjamaah, berukuran 1,90
meter x 1,70 meter. Dinding atap dan sekat ruang seluruhnya dibuat dari bilik. Lantai
terbuat dari palupuh dan tangga dari papan. Atap berbentuk julang ngapak dengan
28



penutup atap dari alang-alang/ijuk. Ruangan ini dilengkapi dengan jendela kayu di
kanan kirinya.
29


DAFTAR SUMBER
Anggraeni, Nies. 1976. “Peninggalan-peninggalan Prasejarah di sekitar danau
Cangkuang (Leles), dalam Kalpataru No 2. Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional.
Binford, Lewis R. 1972. An Archaeological Perspective. New York: Seminar Press..
Mundardjito. 1981. “Etnoarkeologi: Peranannya dalam Pengembangan Arkeologi di
Indonesia”, dalam Majalah Arkeologi Th IV, No.1. Jakarta: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
Rachmiana, Siti. 2004. Analisis Bentuk dan Ragam Hias Gerabah Situs Leles,
(Garut). Skripsi Sarjana Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia. Depok: Fakultas FIB UI.
Rif’ati, Heni Fajria dan Toto Sucipto. 2002. Kampung Adat dan Rumah Adat di Jawa
Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Barat.
Saringendyanti, Etty. 1996. Pola Penempatan Situs Upacara Masa Hindu Budha:
Kajian Lingkungan Fisik Kabuyutan di Jawa Barat. Jakarta: Pr
ogram
Pascasarjana Universitas Indonesia (Tesis S2).
Suleiman, Satyawati. 1976. Monuments of Ancient Indonesia. Jakarta: Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional
Wibowo, Santoso. 2002. Alat-Alat Obsidian Leles: Suatu Kajian tentang Hubungan
Peretusan dengan Pemakaian Alat. Skripsi Sarjana Arkeologi Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Depok: Fakultas FIB UI.



Internet
http:\\www.garut.go.id/pariwisata, diakses 15 Mei 2007.
http:\\www.wikipedia.org/Kampung_Pulo, diakses 15-5-2007.
AMGD, http:\\www.navigasi.net, diakses 15-5-2007.
Bambang Budi Utomo, Candi Cangkuang, dalam http:\\www.disbudpar.net, diakses
10 April 2007.
Loupias, Henry H. 1982. Arsitektur Tradisional daerah Jawa barat, dalam
http:\\www.pikiran_rakyat.com/, diakses pada 15-5-2007).
Undang Sudrajat, dalam http:\\www.pikiran-rakyat.com/, diakses pada 15 Mei-2007.

Sumber: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/pola_tata_ruang_situs_cangkuang.pdf

Kacapi Indung, Simbol Sunda Lama

Kacapi Indung, Simbol Sunda Lama

Sebagaimana telah disampaikan di muka bahwa kacapi indung (dulu disebut kacapi pantun atau kacapi parahu) adalah produk budaya lama yang pada awalnya digunakan dalam pantun Sunda. Pantun Sunda dapat diperkirakan sudah lahir sebelum abad ke-15 M. Dalam naskah kuno Sanghiyang Siksa Kandang Karesian (1518) yang dikutip oleh Nia Dewi Mayakania, istilah pantun sudah disebutkan, yaitu dengan ungkapan sebagai berikut: "hayang nyaho di pantun ma: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi: prepantun tanya" (bila ingin mengetahui pantun: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi: tanyalah juru pantun) (Mayakania, 1993: 62). Dapat diduga jenis kesenian ini sudah ada sebelum abad ke-15 Masehi.



Hingga saat ini, belum ada yang mencoba menggali nilai-nilai yang tersembunyi di balik kacapi indung, baik dari segi wujud dan bentuk kacapi indung itu sendiri maupun dari segi simbol-simbol yang terkait dengan peranan musikalitasnya.

Pada umumnya, kacapi indung hanya dikenal sebagai alat musik yang berfungsi untuk mengiringi vokal tembang sunda cianjuran. Padahal, dari bentuk dan wujudnya saja ada hal yang patut dipertanyakan. Mengapa wujud dan bentuk kacapi indung berbeda dari kacapi siter. Kemudian mengapa kacapi indung umumnya berwarna hitam, dan mengapa pula disebut kacapi indung. Pada awalnya, kacapi indung yang juga biasa disebut sebagai kacapi parahu, kacapi gelung, atau kacapi pantun, digunakan pada penyajian pantun untuk mengiringi lagu-lagu yang dibawakan oleh juru pantun.

Namun, karena tembang sunda cianjuran itu sendiri diduga berasal dari pantun maka kacapi pantun (yang sekarang ini lebih dikenal dengan sebutan kacapi indung) digunakan sebagai salah satu instrumen untuk mengiringi lagu-lagu tembang sunda cianjuran.

Dalam penyajian tembang sunda cianjuran, kacapi indung memiliki peranan yang sangat dominan. Kacapi indung berperan sebagai pemberi rasa laras terhadap penembang (melalui tabuhan narangtang); berperan sebagai pemberi aba-aba terhadap penembang; berperan sebagai penuntun lagu; dan berperan juga sebagai pembawa irama lagu (melalui lagu-lagu panambih).

Lahirnya istilah kacapi indung diperkirakan setelah kecapi ini digunakan dalam konteks tembang sunda cianjuran. Ketika kecapi ini digunakan dalam pantun, tidak dikenal istilah kacapi indung, dan masyarakat Sunda menyebutnya dengan istilah kacapi pantun atau kacapi parahu. Berubahnya nama jenis kecapi ini --yang semula bernama kacapi pantun atau kacapi parahu kemudian menjadi kacapi indung-- sangat terkait dengan peranan dari kecapi itu sendiri yang seolah berperan sebagai ibu.

Dalam konteks kehidupan masyarakat Sunda, peranan seorang ibu sangat besar, di antaranya sebagai pengatur ekonomi rumah tangga, pembimbing anak-anak, dan pendamping/pendorong bagi kemajuan suaminya. Oleh karena itu, dalam konsep pemikiran orang Sunda, kedudukan seorang ibu sangat dihormati, dan karena kedudukannya ini maka perempuan dimitoskan sebagai "penguasa" seperti tampak pada mitos Dewi Sri dan Sunan Ambu.

Masyarakat Sunda lama (pramodern) yang mata pencahariannya berladang memiliki pola berpikir dualisme secara paradoks. Dari pola berpikir dualisme yang paradoks ini melahirkan konsep berpikir pola tiga yang dapat dibuktikan melalui artefak-artefak budaya Sunda, seperti tampak pada bentuk kujang, bangunan rumah, letak sungai, dan sebagainya. Melihat fenomena seperti ini, penulis merasa tertarik untuk mencoba melihat apakah kacapi indung khususnya, dan tembang sunda cianjuran umumnya, juga dapat mencerminkan pola tiga?

Silogisme

Sebagaimana telah disampaikan di muka bahwa kacapi indung (dulu disebut kacapi pantun atau kacapi parahu) adalah produk budaya lama yang pada awalnya digunakan dalam pantun Sunda. Pantun Sunda dapat diperkirakan sudah lahir sebelum abad ke-15 M. Dalam naskah kuno Sanghiyang Siksa Kandang Karesian (1518) yang dikutip oleh Nia Dewi Mayakania, istilah pantun sudah disebutkan, yaitu dengan ungkapan sebagai berikut: "hayang nyaho di pantun ma: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi: prepantun tanya" (bila ingin mengetahui pantun: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi: tanyalah juru pantun) (Mayakania, 1993: 62). Dapat diduga jenis kesenian ini sudah ada sebelum abad ke-15 Masehi.

Oleh karena pantun Sunda sudah lahir sejak sebeum abad ke-15 Masehi, maka kacapi parahu termasuk produk budaya Sunda lama yang kelahirannya tidak jauh berbeda dari pantun. Pada masa sekitar abad ke-15, masyarakat Sunda hidup dengan cara berladang. Masyarakat ladang hidup dengan menanam, memelihara, dan mengembangkan padi dan tanaman lainnya. Menurut Jakob Sumardjo, obsesi masyarakat ladang yaitu "menghidupkan".

Bagaimana kehidupan dapat terus dipelihara? Mereka berusaha mengawinkan pasangan kembar oposisi yang saling bertentangan, tapi saling melengkapi. Dari perkawinan, kehidupan yang baru bisa muncul. Tanaman padi dapat terus hidup kalau ada "perkawinan" antara langit dan bumi. Langit mencurahkan hujannya kepada tanah yang kering. Basah itu asas perempuan dan kering asas lelaki.

Perkawinan antarkeduanya akan menciptakan entitas ketiga, yakni kehidupan di muka bumi. Langit di atas, bumi di bawah, dan kehidupan muncul di tengah-tengah langit dan bumi. Ketiga dunia ini merupakan satu kesatuan yang membuat kehidupan ini tetap ada (Sumardjo, 2006: 72).

Dasar kepercayaan kosmologi manusia peladang ini menjadi landasan cara berpikirnya untuk semua hal, yakni pola tiga. Untuk lebih jelasnya, lihat kutipan berikut ini menurut hasil penelitian Jakob Sumardjo.

Pola tiga bertolak dari kepercayaan dualisme antagonistik segala hal. Misalnya, langit di atas, bumi di bawah; langit basah, bumi kering; langit perempuan, bumi laki-laki; langit terang, bumi gelap. Keduanya terpisah dan berjarak. Pemisahan itu tidak baik karena akan mendatangkan kematian. Pemisahan segala hal yang dualistik antagonistik harus diakhiri, yakni dengan mengawinkan keduanya. Hidup itu dimungkinkan karena adanya harmoni. Syarat hidup adalah adanya harmoni dari dua entitas yang saling bertentangan tetapi saling melengkapi (Sumardjo, 2006: 73).

Untuk memperjelas fokus tulisan ini, maka perlu dibangun silogisme sebagai berikut.

Premis 1: Masyarakat ladang adalah masyarakat pramodern yang memiliki dasar pemikiran kosmologis pola tiga.

Premis 2: Kacapi pantun atau kacapi indung adalah produk budaya dari masyarakat ladang.

Simpulan: Kacapi pantun atau kacapi indung mengandung dasar pemikiran pola tiga.

Berdasarkan silogisme di atas, maka apakah "pola tiga" sebagai dasar pemikiran masyarakat Sunda pramodern masih tercermin dalam wujud kacapi indung, atau tidak ada.

Pandangan mitologi

Kacapi indung adalah jenis alat musik berdawai (chordophone) berbentuk bar zither yang digunakan untuk mengiringi vokal tembang sunda cianjuran. Kacapi indung memiliki delapan belas utas dawai. Pada bagian ujung sebelah kanan dan kiri kacapi indung terdapat bentuk setengah lingkaran yang menyerupai sanggul (gelung). Pada bagian bawah kacapi indung terdapat lubang resonator yang berfungsi sebagai pengeras bunyi. Di samping itu, lubang resonator juga berfungsi sebagai jalan masuk untuk mengikatkan dawai ke bagian ujung pureut. Sementara di tengah-tengah bagian depan kacapi indung terdapat delapan belas pureut untuk menyetem nada dengan cara memutarkan pureut tersebut ke arah kanan atau kiri. Berdasarkan seluruh uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa silogisme sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian, kacapi pantun atau kacapi indung sebagai produk budaya masyarakat ladang yang mencerminkan pola tiga dapat terbukti kebenarannya. (Heri Herdini, Jurusan Karawitan STSI Bandung)***

Sumber: http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=76604